Mahawakya yadnya sebagai way of life sebenarnya telah memendar dari pancaran suci Kitab Suci Weda. Kitab Suci Bhagawadgita yang diyakini sebagai Pancama Weda secara eksplisit menyuratkan kehidupan manusia Hindu berpangkal dari yadnya.
Sahayajnyah prajah srishtwa
Puro vacha prajapatih,
Anena prasavishya dhvam
Esha vo stv ishta kamadhuk
(Dahulu kala Prajapati (Tuhan) menciptakan manusia bersama bhakti persembahannya dan ber-sabda dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapi perahanmu)
Sloka III. 10 tersebut di atas mengintroduksi bahwa pada waktu Brahman (prajapati: pencipta) manifestasi Tuhan sebagai pencipta menciptakan manusia (prajah), ia (manusia) diberi bekal seekor sapi (kamadhuk) kepunyaan Indra untuk diperas susunya. Susu kamadhuk itu dimaksudkan sebagai sumber kesejahteraan manusia. Seiring dengan itu (pemberian anugrah kamadhuk) melekatkan tugas manusia untuk berbakti kepadaNya. Itulah sebabnya, yadnya merupakan jalan hidup (way of life) manusia sepanjang masa. Sepanjang manusia eksis sebagai salah satu makhluk di muka bumi ini, tak seorangpun luput dari kewajibanyadnya itu.
Secara etimologis, yadnya sering dihubungkan dengan “pengorbanan” atau “kurban”. Arti yadnya sesungguhnya juga berarti “tindakan pemujaan” atau “ketaatan”. Itulah sebabnya, berdasarkan etimologinya, yadnya dapat diartikan sebagai ketaatan melakukan tindakan pemujaan melalui pengorbanan suci.
Eklektasi semacam itu, melahirkan pemahaman yadnya sebagai bentuk kontemplasi azasi tiada duanya. Yadnya seolah merupakan satu-satunya terowongan kemenangan menuju kemahasucian Tuhan. Bhagawadgita III.
11, menyebutkan bahwa dengan yadnya para dewata (para dewa) dalam arti kekuatan-kekuatan yang bercahaya (div) mengatur fungsi kosmos (alam semesta) dalam evolusinya sebagai pernyataan sujud syukur. Dengan menghormati kekuatan kosmik itu, berarti manusia mengerti akan kewajiban hidupnya. Barang siapa mengerti tugas dan kewajiban hidupnya, maka akan mencapai kebajikan tertinggi.
Memuja para dewata tersebut bukanlah merefleksikan bahwa agama Hindu sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan ajaran politeisme ataupun monoteisme. Namun dalam pemahaman ini, harus diingat bahwa dewata yang mengatur kekuatan kosmos sesungguhnya merepresentasikan kemahautamaan Brahman Yang Mahaesa, yang absolut, seperti halnya jiwa manusia yang sejatinya merupakan bagian dari Jiwa Yang Tunggal, yaitu Brahman (Tuhan). Sloka Bhagawadgita III. 11 yang menyuratkan esensi tersebut dapat diikuti sebagai berikut.
Devan bhavayata nena
Te deva bhavayan tuvah
Parasparam bhavayantah
Sreyah param avapsyatha
Artinya:
Dengan ini (yadnya) pujalah dewata
semoga dewata memberkahi engkau
dengan saling menghormati begini
engkau mencapai kebajikan tertinggi
Pemahaman terhadap yadnya sebagai bentuk kontemplasi melahirkan konsepsi kesinambungan yadnya sebagai sirkumstansi kontemplasi yang tiada terputus. Yadnya meresap sebagai sendi kehidupan kontemplatif yang harus dilakukan setiap saat dan dalam bentuk yang sewaktu-waktu. Ada yang disebut nitya karma sebagai bentuk yadnya yang dilakukan sehari-hari dan naimitika karma yang dilakukan sewaktu-waktu.
Yadnya berjalan di atas kala (waktu) dalam bentuk bhakti, pengabdian, dan persembahan. Direpresentasikan dengan dibangunnya nitya karma yadnya tiada terputus sepanjang waktu dan secara berkala dengan naimitika karma yadnya. Melakukan yadnya tidak dibatasi waktu, tetapi sepanjang waktu. Tidak saja pada saat terjaga, bahkan pada saat tidak terjaga. Apabila tidak melakukan kontemplasi melalui yadnya yang tiada berbatas waktu itu, maka manusia disebut dalam keadaan lipya (tidak sadar).
Oleh karena itu, yadnya sebagai way of life sesunggunya mengandung pengertian yang luas. Yadnya tidak saja berarti upacara sebagai ritus yang dilakukan setiap saat dan sewaktu-waktu, namun juga berarti “segala tindakan” yang dilandasi oleh ajaran dharma yang disarankan. Bila dikatagorikan, yadnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Brahma Yadnya, berbakti pada Brahman Yang Mahaesa dengan segala wujudnya, misalnya berdoa setiap saat;
2) Dewa Yadnya, berbakti pada para dewata sebagai wujud kekuatan yang mengatur fungsi kosmos;
3) Pitri Yadnya, berbakti pada nenek moyang dan orang tua;
4) Nri Yadnya, memberi sedekah pada orang papa;
5) Bhuta Yadnya, memberi makan binatang dan para bhuta.
Rumusan tersebut di atas, tidak begitu populer sekarang ini. Namun dapat direnungkan sebagai perbandingan untuk merumuskan yadnya lebih baik di masa mendatang. Rumusan katagori yadnya yang populer dalam praktek agama Hindu sekarang ini adalah sebagai berikut.
1) Dewa Yadnya, yaitu yadnya yang dilakukan terhadap Ida Sang Hyang Widi dan para dewata;
2) Rsi Yadnya, yaitu yadnya yang dilakukan kepada para rsi atas jasa-jasa dia membina umat dan mengembangkan ajaran agama;
3) Pitra Yadnya, yaitu yadnya yang dilakukan kepada para roh leluhur termasuk kepada orang tua yang masih hidup.
4) Manusa Yadnya, yaitu yadnya yang dilakukan kepada sesama manusia.
5) Bhuta Yadnya, yaitu yadnya yang dilakukan kepada para Bhuta Kala yang bertujuan untuk menetralisasi kekuatan alam sehingga menjadi harmonis.
Sudah barang tentu, kedua katagori yadnya agak sedikit berbeda. Oleh karena itu perlu adanya rumusan baru yang mampu mengakomodasi yadnya sebagai bentuk kontemplasi yang merambah segala kehidupan manusia.
Pengkatagorian bentuk-bentuk yadnya (yang berbeda itu, merupakan upaya untuk mewujudkan praktek yadnya sebagai way of life. Sebagai jalan hidup mewujudkan ketaatan melakukan tindakan pemujaan melalui pengorbanan suci. Sebagai bentuk kontemplasi azasi dari kewajiban hidup.
Melakukan yadnya kepada siapa saja seperti dua katagori di atas merupakan bentuk kontemplasi pemujaan kepada Brahman Yang Mahaesa. Yadnya itu merupakan wujud kerja dan tindakan karena setiap bhakti yang dilakukan dalam ritus yadnya sesungguhnya merupakan pengorbanan suci yang wajib dilakukan oleh manusia. Yadnya harus dilakukan dengan semangat bhakti (kepada Brahman Yang Mahaesa yang absolut) dan semangat pengorbanan. Orang yang melakukan yadnya yang demikian itu sebagai way of life (jalan hidup) sesungguhnya orang yang mengerti akan tugas dan kewajiban hidupnya. Dan barang siapa yang mengerti akan tugas dan kewajiban hidupnya, maka akan mencapai kebajikan yang tertinggi.
Oleh: Jelantim Sutanegara Pidada
Source: Majalah Wartam, Edisi 32, Oktober 2017