Purwaka
Judul di atas adalah sebuah pertanyaan besar yang perlu direnungkan untuk setiap Wanita Hindu di seluruh Indonesia. Sebenarnya judul ini merupakan pertanyaan untuk menanggapi tema yang diberikan oleh Pengurus Pusat Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) dalam memperingati HUT ke-31 WHDI pada tahun 2019 melalui Ketua WHDI Kabupaten Blitar. Adapun tema dari WHDI Pusat melalui surat edarannya nomor:B/16/I/2019/Set tanggal 16 Januari 2019 adalah “Peran Wanita Hindu Dharma Indonesia dalam Melaksanakan Dharma Negara”.
Dalam tema yang diberikan oleh WHDI tersebut tersirat berbagai peran yang harus dilaksanakan oleh para wanita Hindu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di era pengarustamaan keseteraan gender seperti saat ini, wanita Hindu diharapkan mampu memainkan perannya baik sebagai seorang anak, istri, ibu, maupun dalam karirnya.
Stigma negatif tentang wanita yang pada zaman dahulu dianggap sebagai kâncâ wíngkíng (teman belakang) kini sudah mulai pudar. Bahkan istilah wanita sebagai orang yang hanya bisa “di dapur, di sumur, dan di kasur” pun kini sudah berubah. Wanita di zaman now pun bisa “ketiban sampur” dalam berbagai karir baik di perusahaan, kantor, hingga pemerintahan. Semangat Kartini yang diwarisi wanita di Indonesia juga telah mengilhami wanita Hindu untuk bisa maju dalam karirnya.
Dalam konteks ini sebenarnya ada hal penting yang juga perlu ditanyakan kepada setiap wanita Hindu di Indonesia. Saat negara dan masyarakat memberikan ruang yang lebih kepada wanita Hindu untuk bisa mengekspresikan seluruh potensinya, apakah mereka sudah siap dengan segala konsekuensinya. Inilah yang melandasi judul “Wani Ta (Beranikah)” sebagaimana dituliskan di atas.
Kedudukan Wanita dalam Hindu
Berbicara masalah wanita dalam Hindu, nampaknya tidak bisa lepas dari konsep tattwa tentang ketuhanan Hindu. Dalam Hindu, wanita dianggap sebagai dewī (देवी) yang juga sebagai penerang bagi dunia. Konsep ardhanareswarī dalam Hindu memungkinkan wanita sebagai Tuhan. Setali tiga uang dengan konsep ini, Groove Coverage pun pernah merilis sebuah lagu yang berjudul “God Is Girl”. Dalam penggalan reffnya disebutkan, “... god is a girl, whatever you are, do you believe it, can you receive it...”
Sebagai seorang dewī, maka wanita Hindu memiliki tugas yang amat berat. Bahkan karena tugasnya tersebut wanita dikatakan lebih berat dari bumi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Sarasamuscaya 240: “माता गुरुतरा भूमेः खात्तथोच्चतरः पिता । मनः सिघ्रतरम्वायोश्चिन्ता बहुतरा तृणात् ॥ (Ibu lebih berat dari pada bumi, ayah lebih tinggi dari pada langit. Pikiran lebih cepat dari pada angin, keinginan lebih banyak dari pada rumput)”. Ini senada dengan konsep orang Jawa yang menyebutkan ibu bumi bapa akasa. Tugas berat inilah yang menjadikan wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Hindu.
Dalam Manawa Dharma Sastra III.56 pun ditegaskan “यत्रनार्यस्तु पूज्यन्ते रमन्ते तत्र देवतः । यत्रैतास्तु न पूज्यन्ते सर्वास्तलाः क्रीयाः ॥ (di mana wanita dihormati, di sana lah para Dewa merasa senang. Tetapi di mana Wanita tidak dihormati, tidak ada upacara suci pun yang akan berpahala)”. Hukum Hindu yang ditetapkan dalam Manawa Dharma Sastra ini tentu tidak muncul begitu saja. Ada banyak hal yang mendasarinya, dan yang paling utama maksud dari sloka ini adalah penghormatan terhadap kaum wanita adalah hal yang mutlak.
Wanita bukanlah budak yang bisa dibeli seenaknya, apalagi hanya dihargai sebesar 80 juta. Kedudukan wanita sebagai dewī tentu lebih berharga daripada sekadar uang puluhan bahkan ratusan juta. Penghormatan kepada wanita tidak bisa hanya diwujudkan dalam bentuk nominal rupiah. Tetapi penghargaan untuk wanita sebagaimana filosofi sebagaimana diungkapkan di atas jauh lebih penting. Sejarah bahkan telah mencatat bahwa banyak kehancuran dunia yang disebabkan karena tidak adanya pernghormatan kepada wanita. Sebut saja perang besar antara Pandawa dan Kaurawa terjadi salah satunya karena pelecehan Drupadi di arena judi serta kehancuran Rawana karena telah berani menculik Śitā.
Wanita Hindu di Era Milenial
Alvin Toffler, seorang ahli peramal masa depan (futurolog) telah membagi gelombang peradaban manusia atas tiga yaitu zaman atau peradaban pertanian, peradaban industri dan peradaban informasi. Saat ini, kita sedang berada pada peradaban informasi yang ditandai antara lain dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang mendorong deurbanisasi.
Peradaban Gelombang Ketiga yang mulai “dirasuki” arus teknologi komunikasi, memungkinkan umat manusia secara cepat menerima, mengelola, menyimpan, mengambil kembali dan mendistribusikan/mendiseminasi informasi kepada sesama manusia. Sebuah pameo : ”Siapa yang menguasai informasi maka dia akan menguasai dunia (who control the information they control the world)” sudah bukan merupakan slogan hampa namun telah menjadi kenyataan. Informasi sudah dianggap sebagai “power” yang diartikan sebagai “kekuatan” dan “kekuasaan”.
Zaman milenial adalah zaman yang penuh tantangan terutaman terkait dengan arus teknologi informasi. Di zaman milenial, siapa pun yang bisa mengendalikan arus teknologi informasi akan memiliki kekuatan dan dekat dengan kekuasaan. Dengan kemampuannya di dunia teknologi dan sarana yang ada, generasi di zaman milenial akan memiliki banyak peluang untuk bisa berada jauh di depan dibanding generasi sebelumnya. Namun sayangnya, dari catatan statistik, generasi milenial di zaman now cenderung lebih tidak peduli terhadap keadaan sosial, termasuk politik dan ekonomi. Mereka lebih fokus pada pola hidup kebebasan, hedonisme, dan cenderung mengingkan hal yang instant serta tidak menghargai proses.
Wanita Hindu di zaman milenial ini tentu harus bisa adaptif dengan teknologi yang ada. Meski tidak bisa menciptakan teknologi, setidaknya harus bisa memanfaatkan teknologi tersebut. Banyak hal yang bisa diperoleh dengan memanfaatkan teknologi secara bijak, mulai dari tambahnya teman, wawasan, pengetahuan, hingga meningkatnya pendapatan.
Namun demikian tantangan wanita Hindu di era milenial ini cukup besar. Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi satu hal yang amat penting dalam era ini. SDM yang mumpuni sangat diperlukan dalam era digital seperti saat ini. Sering kali SDM kita tergerus oleh arus digital tanpa mampu membendung apalagi mengendalikannya. Moral juga menjadi benteng terakhir yang kadangkala sering kebobolan oleh derasnya arus teknologi informasi. Dalam konteks ini diperlukan Wanita Hindu yang साध्वी गुणवती (sādhwī guṇawatī), yang tidak hanya cerdas tetapi juga memiliki kuat śraddhanya, mantap bhaktinya dan baik suśīlanya.
Senada dengan hal tersebut, mungkin lagu berikut bisa dijadikan sebagai bahan renungan: ja pâdhâ sêmbrânâ | élingâ pârâ wanitâ | akèh godhâ mâlâ | bêbâyâ néng alam donyâ || jarwané wanitâ | wanodyâ íngkang puspitâ | ja nganti kêgodha | karo wolûng pulûh yutâ || ayo kabéh kâncâ | wirangé dijâgâ | âjâ murang tâtâ | muríh mulyâ || śraddhané kuwatnâ | jâ ninggalké dharmâ | nêtêpi suśīla | kang utâmâ || (Jangan sampai lengah | ingatlah para wanita | banyak godaan | bahaya di dunia nyata || maknanya wanita | namanya harum bagai bunga | jangan sampai tergoda | dengan delapan puluh juta || Ayo kawan semua | malunya dijaga | jangan meninggalkan sopan santun | agar mendapat kemuliaan || Kuatkan sraddhanya | jangan meninggalkan dharma | menjalankan ajaran susila | yang utama ||)
Dharmaning Wanita ring Nagara
Wanita adalah ibu bagi sebuah negara. Tanpa wanita negara akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Ada adagium klasik yang menyebutkan “वनिताः स्तंभस्ति धर्मेन लोकं रक्षति (Wanita adalah tiang negara, dengan dharmanya dunia terjaga)”. Adagium klasik ini mengingatkan kita betapa pentingnya peran wanita dalam menjaga sebuah negara bahkan dunia. Jika dalam sebuah negara, waanitanya rusak, maka rusaklah negara itu. Sebaliknya sebuah dunia yang rusak akan bisa kembali tertata jika banyak ibu yang bisa melahirkan suputra dan akhirnya akan bisa mengembalikan kesucian dunia.
Berkaca dari sejarah itihasa, tentu kita bisa melihat bagaimana peran seorang Kunthi yang mampu menghapuskan masa suram dari Hastina Pura. Berkat ajian kuntha wêkasíng râsâ ciptâ tunggal kang tanpâ lawan yang dimilikinya, Kunthi telah membuat Hastina Pura bangkit dari keterpurukannya. Kunthi adalah salah satu contoh sosok wanita Hindu dalam epos Mahabharata yang tangguh dan mampu mengatasi persoalan-persoalan bangsa yang tidak bisa diselesaikan oleh kaum lelaki. Bahkan Raja Pandu pun sudah sempat putus asa karenanya.
Wanita Hindu di zaman now seharusnya bisa belajar dari kisah Mahabharata tersebut. Bagaimana Kunthi yang meskipun ‘single parent’ mampu membesarkan para ksatriya tangguh, kebanggaan dunia ‘jagoné pârâ déwâ’ di zaman itu. Dalam konteks sekarang mungkin wanita Hindu yang dibutuhkan adalah mereka yang mampu berkiprah dalam pergulatan zaman tanpa meninggalkan kodratnya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya sebagaimana ungkapan yang menyebutkan “वनिताः चर्यनं भर्यानं च मातानं भवति (Wanita adalah seorang yang berkarya, seorang istri dan sekaligus seorang ibu).
Pertama, peran wanita sebagai seorang yang berkarya atau wanita karir (चर्य वनिता carya wanitā) memungkinkannya untuk mampu menjadi wanita yang mandiri. Dia bisa bekerja di mana saja sepanjang mampu melakukannya. Di zaman sekarang bahkan pekerjaan yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh kaum pria kini bisa dikerjakan oleh para wanita. Sehingga saat berumahtangga, dia bisa membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluargannya.
Meskipun demikian dalam konsep Hindu wanita sangat tidak dianjurkan untuk menjadi tulang punggung keluarga, lebih-lebih jika sang suami bergantung pada sang istri. Dalam petikan Kakawin Nitisastra II.2 disebutkan: uttamaning dhanolihing amét prih awak aputêran | madhyama ng arthaning bapa kaniṣṭa dhana saking ibu | niṣṭanikang kaniṣṭa dhana yan saka ring anakêbi (Kekayaan yang terbaik adalah uang yang didapat dari hasil jerih payah sendiri. Yang baik adalah kekayaan dari bapak. Yang tidak baik harta pemberian ibu. Adapun yang sangat tidak baik, yaitu harta dari sang istri).
Seorang suami yang hanya berpangku tangan dengan menunggu hasil jerih payah istrinya adalah suami yang tidak memiliki harga diri. Di Zaman Edan ini banyak laki-laki yang menggantungkan hidupnya kepada istrinya. Misalnya para suami yang mengirim istrinya sebagai tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri, sementara mereka di rumah enak-enakkan menikmati hasil jerih payah sang istri. Dalam masyarakat Jawa orang yang seperti ini dinamakan “nggondhéli poncoting tapih”. Lebih-lebih jika mereka sampai menyuruh istrinya bekerja bahkan hingga menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang, sementara di rumah ia tinggal menikmati kekayaan istrinya itu. Dan yang lebih hina lagi para lelaki itu memanfaatkan kekayaan istrinya itu untuk kesenangannya sendiri.
Lebih jauh seorang carya wanitā di zaman sekarang sudah ada yang bisa menjadi pucuk pimpinan sebuah perusahaan, kantor, departemen, kepala daerah, hingga presiden. Untuk wanita semacam ini, mereka bisa mendarmabaktikan kemampuannya secara penuh untuk negara. Dalam konsep masyarakat Jawa sebutan untuk wanita semacam ini adalah mereka yang ‘wani nata (berani memimpin)’. Memang tidak banyak wanita yang memiliki kemampuan seperti ini, namun jika ada niat dan upaya setiap wanita Hindu pasti bisa mewujudkannya. Kalau sudah ada ruang seperti maka apa wis wani ta? Inilah tantangan yang harus dijawab dengan karya nyata oleh para carya wanitā tersebut.
Kedua, peran wanita sebagai seorang bharyā wanitā (भर्या वनिता) adalah sebagai hukum ṛta (kodrat) yang tidak bisa ditolaknya. Seorang wanita akan menjadi sempurna ketika dia sudah bisa beperan sebagai istri yang baik atau sādhwīstrī (साध्वीस्त्री). Dalam Canakya Nitisastra IV.13 ciri-ciri istri yang baik disebutkan sebagai berikut: “सा भार्या या शुचिर्दक्षा सा भार्या या पतिव्रता । सा भार्या या पतिप्रीता सा भार्या सत्य वादिनी ॥ (Seorang istri sejati adalah mereka yang setia, pandai atau ahli dalam pekerjaan rumah tangga, bersih atau menjaga kesuciannya, menyenangkan bagi suami, dan jujur). Dalam konsep Jawa, seorang istri idaman para suami adalah mereka yang bisa 3 M atau trima (masak, macak, manak). Wanita yang bisa menjadi bharyā wanitā bagi suaminya, secara tidak langsung dia juga sudah melaksanakan dharmaning wanita ring nagara.
Jika seorang bharyā wanitā sekaligus menjadi carya wanitā, maka wanita tersebut harus bisa membagi waktu dengan baik. Di satu sisi dia harus bisa menjadi pekerja yang baik, tetapi di sisi lain dia juga harus bisa menjadi istri yang baik (sādhwīstrī). Jika keduanya bisa dijalankan dengan baik, maka dia bisa melanjutkan kedua-duanya. Jika tidak bisa, biasanya akan ada salah satu yang akan dikorbankan. Tentu ini sangat tidak diharapkan oleh semuanya.
Ketiga, peran wanita sebagai seorang mātā wanitā (माता वनिता) anugerah sekaligus swadharma yang diembannya. Untuk menyempurnakan kedua peran di atas, maka harus menjadi peran yang ketiga yakni seorang mātā (ibu) bagi dunia. Setiap wanita atau keluarga pasti ingin memiliki keturunan. Putra yang baik atau suputra adalah dambaan dari setiap keluarga. Seorang wanita akan semakin bangga bila dia bisa melahirkan anak yang suputra. Wanita yang hanya sebagai seorang ibu rumah tangga pun bisa berperan besar bagi negaranya apa bila dia bisa melahirkan, membesarkan, merawat, dan mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang suputra. Jadi swadharmaning wanita ring nagara tidak hanya sekadar menjadi carya wanitā. Saat seorang wanita menjadi ibu (mātā), dan melahirkan anak-anak yang suputra, maka anak-anaknya itu akan bisa melaksanakan dharma negara dengan baik. Secara tidak langsung, sang ibu ini sudah melaksanakan swadharmaning wanita ring nagara.
Wasana
Memang tidaklah mudah di era milenial semacam ini untuk bisa menjadi wanita yang bisa melaksanakan berbagai peran sebagaimana diuraikan di atas. Namun jika dia bisa melaksanakannya dengan baik tentu itulah nilai plus bagi seorang wanita. Di era milenieal seperti sekarang ini banyak tantangan dan hambatan untuk menuju ke sana terutama hambatan arus informasi digital yang kadang kala membuat kita larut di dalamnya. Untuk itulah sebagai wasana wakya, maka saya sajikan sebuah tembang Dhandhanggula dari Serat Dharmawasita I.12 berikut:
pêpuntôné gônirâ dumadi | ngugêmânâ mríng catûr upâyâ | mríh tan bingûng pamundhiné | kang dhingín wêkas ingsûn | aniruwâ marang kang bêcik | kapindho anurutâ | mríng kang bênêr iku | katri guguwâ kang nyâtâ | kapíng paté milihâ ingkang pakolíh | dadi kanthi nèng donyâ ||
Terjemahan:
Pedoman dalam hidup ini | patuhilan akan empat hal | supaya tidak bingung dalam menggapai tujuan hidupmu | yang pertama ingin saya sampaikan | tirulah hal-hal yang baik | kedua patuhilah | yang benar itu | ketiga ikutilah yang benar-benar ada | yang keempat pilihnya yang bermanfaat | jadikan itu sebagai pedoman di dunia ||
Oleh: Miswanto
Wakil Sekjen Pandu Nusa