Kata ‘mahardika’ berasal dari bahasa sanskerta ‘maharddhi’ yang berarti “kemakmuran, kekuasaan, kesempurnaan, besar, sangat makmur, kuasa”. Sebagai suatu istilah filsafat kata “mahardhika” sendiri berarti “berkualitas istimewa, luar biasa, khas, unggul, sempurna, berbudi luhur, orang bijaksana, orang suci.”
Istilah ‘mahardhika’ merupakan suatu istilah yang sangat pentingdalam keseluruhan rangkaian brahmawidya (filsafat) Hindu Dharma. Dalam agama Hindu, mahardhika berkaitan dengan kualitas kehidupan yang istimewa. Kehidupan dimaksud, tidak hanya berkaitan dengan kehidupan di dunia nyata, tetapi juga berkaitan dengan dunia tak nyata, kehidupan masa lalu, kehidupan masa kini, sampai kehidupan masa datang. Dan juga berkaitan dengan mahardhikapada (tempat tinggal bagi mereka yang sempurna). Itulah sebabnya dikaitkan dengan merdeka ragawi, merdeka jiwani. Sebuah istilah yang berhubungan dengan hakikat mendasar dalam agama Hindu, yaitu berkaitan dengan eksistensi jati diri manusia (ragawi) (self) dan atman (jiwa) (inner self atau soul).
Minstrea mahadhika melekatkan makna upaya “pembebasan” diri manusia yang dilakukan dengan “luar biasa” untuk mencapai tujuan kehidupan menurut ajaran dharma. Dari apa “pembebasan” diri manusia itu? Dari musuh-musuh yang menguasai diri manusia yang tiada lain berasal dari dirinya sendiri. “Ragadi musuh maparo, Rihatya tonggwanya, Tan madoh ring awak” (Ramayana I.4): nafsu, kemarahan, iri, dengki, angkuh, dan kegelapan adalah musuh terdekat dalam diri manusia dihatilah tempatnya tiada jauh dari diri.
Seperti diketahui, setiap wujud diri manusia sesungguhnya berupa tri sarira (tiga lapis wujud), yaitu berupa stula sarira atau raga sarira (badan kasar yaitu jasmani yang terbentuk dari unsur panca maha bhuta), suksma sarira atau lingga sarira (badan halus yang terdiri diri unsur budhi, manah, dan ahamkara), dan antah karana sarira (badan penyebab yaitu jiwatman). Stula sarira atau raga sarira mempengaruhi suksma sarira atau lingga sarira yang ada gilirannya membuat antah karana sarira (jiwatman) mengalami instabilitas diri. Antara memilih tegak tiada terpengaruh terhadap bujuk rayu keduanya atau tetap tegak berjalan di atas jalan dharma yang sudah ditentukan (maharddhika upasama tan gong krodha) (Wir 44; Udy 144). Tetap mahardhika tiada terpengaruh gaung krodha yang senantiasa mengintai sebagai aspek biologikal.
Dari secerah garis sinar mahardhika yang diintroduksi melalui mainstreanya, maka terungkap bahwa tujuan kognitif yang hendak dicapai tiada lain bebas sempurna dari ahangkara agar jangan sampai dalam keadaan mahangkara (tak terkendali). Aspek inilah yang merupakan kekhasan konsepsional mahardhika. Sebagai doktrin penting dalam keseluruhan rangkaian brahmawidya Hindu Dharma, mahardhika melekatkan makna “pembebasan” itu di mulai dari diri sendiri. Pergulatan utama tujuan “pembebasan” tersebut terfokus dari dalam diri sendiri. Sebabnya tiada lain karena determinasi karma ada dalam pusaran diakronik masa lalu, masa kini, dan masa datang. Seperti digambarkan dalam Nitisastra sebagai berikut:
“Ikang dumadi janma rupa maka bhusananika sumilih tekeng sabha/
Surupa maka bhusanannya kula suddha pinilija merek ki jong haji/
Suwastra maka bhusane kula minukya sire teke ri madhyaning sabha/
Susastra maka bhusana ksama mahanggresepi manahi sang mahardhika//
Terjemahan:
Orang yang menjelma menjadi manusia wajahnya bagai busana di dalam pergaulan;
Orang yang rupawan, bangsawan kebersihan dirinya bagaikan busana bila menghadap sang raja;
Pakaian sebagai busana, dimuliakan oleh masyarakat luas bila dalam pertemuan;
Namun susastra dan ilmu pengetahuan yang suci dan kesabaran adalah busan orang-orang mahardika atau berpikiran besar yang telah menyusup ke dalam diri.
Sejak kelahirannya, karma yang melekat di dalam dirinya sudah mulai tampak. Selebihnya di dalam diri itu juga terpancar adanya sadripu (enam) benih musuh yang indent sebagai membentuk kepribadian. Keenam musuh itu diidentifikasi sebagai; 1) kama, yaitu hawa nafsu atau keinginan yang negatif (keinginan yang tidak terkendali); 2) lobha, yaitu kelobaan, ketamakan, kerakusan; 3) krodha, yaitu kemarahan, kebencian, emosi; 4) moha, yaitu kegusaran atau kebingungan, tidak tahu jalan yang benar; 5) mada, yaitu kemabukan, tidak dapat mengontrol diri; dan 6) matsarya, yaitu irihati atau dengki.
Jadi, keenam sifat yang disebut sadripu itu melekat di dalam diri sebagai musuh abadi. Di sinilah kekhasan maharddhika sebagai doktrin brahmawidya. Namun yang lebih penting lagi ialah potensi mada sebagai leksikon pentriger keseluruhan rangkaian sadripu seperti dinyatakan dalam Nitisastra IV.18 sebagai berikut.
Lwirning mangdadi madaning jana surpa guna dhana kula kulina yowana lawan tang sura lenkas aran agawe wereh manahikang sarat kabeh, yang wwanten wang sira sang dhaneswara surupa guna dhana kula yowana yan ta mada maharddhikeka panggarannia sira putusi sang pinandita.
(hal yang dapat membikin orang mabuk adalah keindahan rupa, kepandaian, kekayaan, kemudahan, kebangsawanan, keberanian, dan air nira. Barang siapa tidak mabuk karena semuanya itu dialah yang dapat disebut merdeka (mahardika), bijaksana bagaikan Sang Pinandita).
Tampaknya, benih mada inilah yang harus diwaspadai. Penyebabnya tiada lain karena keseluruhan rangkaian sadripu itu berhimpitan dengan eksistensi jati diri manusia. Apakah sadripu itu keseluruhannya harus ditiadakan sepenuhnya? Pasalnya, manusia tanpa kama, dikhawatirkan meniadakan hal baik lainnya. Seperti reproduksi dalam artian memiliki keturunan akan terhambat. Kebutuhan jasmaniah yang tidak terpenuhi karena meniadakan aspek-aspek kebutuhan biologis. Bahkan kebutuhan primer lainnya pun akan terhambat bila apa yang disebut sadripu itu diterapkan dengan determinasi sempurna.
Sang Bima, dalam epik Mahabharata digambarkan sebagai pemuja kama yang sempurna. Antitesa dengan Dharmawangsa yang senantiasa berusaha meniadakan sadripu, tetapi pada saat tertentu beliaupun terjaring oleh kama tanpa disadarinya. Bukankah Dharmawangsa pernah dikalahkan dalam permainan dadu oleh sepupunya Sang Duryodana? Itulah sebabnya Kitab Suci Mahabharata sering kali disebut sebagai kitab yang mengajarkan karma marga yoga. Kitab yang mengajarkan bahwa kehidupan manusia di bumi jagatpati ini sesungguhnya menjalankan karma dalam rangka punarbhawa. Akan tetapi, mahadhika rupa tetap merupakan tujuan hidup sehingga disebutkan bahwa mahadhika rupa, wiku suci (RY. 1.11). Barang siapa berhasil mahardhika, ialah orang bijaksana, orang suci yang berhak tinggal di mahadhikapada (tempat tinggal bagi mereka yang sempurna: sunyanirbhana loka, swarga loka).
Oleh: Jelantik Sutanegara Pidada
Source: Majalah Wartam, Edisi 30, Agustus 2017