“Aku bersama handphone maka aku ada” mungkin ungkapan ini sangat tepat dewasa ini dimana manusia bisa eksis bersama handphone. Eksistensi manusia bisa diviralkan melalui HP. Perkembangan teknologi informasi yang kemudian berwujud pada penggunaan gawai dan platform, seperti handphone telah menjadi kebutuhan primer manusia. Kini dunia dalam genggaman telepon pintar dengan kecerdasan buatan telah menjadi guide aneka permasalahan manusia, intinya “klik google” pasti ada jawabannya. Manusia asyik bermain, bercanda, belajar, dengan obyek yang bemama handphone. Jika tiada gawai atau paket data telah habis menyebabkan komunikasi terputus dan yang terjebak dalam nikmatnya menu HP tentu akan merasa kesepian dan kehilangan yang akan berdampak pada psikis. Namun perlu di sadari bahwa dalam setiap revolusi industri pasti ada peluang baru dan ancaman: Era 4.0 merambah dunia ditandai disrupsi, kecanggihan teknologi benar-benar telah meluluhlantakan kemapanan sebelumnya.
Secara tidak langsung manusia melakukan kontak dengan berbagai status dalam berbagai menu kecanggihan teknologi seperti instagram, whatshap, twitter, facebook dan line. Hal ini memberikan informasi keberadaan seseorang namun ingat bahwa ini dunia maya. Aktivasi seluruh badan dan diri kita yang berkurang ketika teknologi kian maju dan mengambil alih sebagain peran yang seharusnya dilakukan oleh badan dan diri kita. Kecanggihan teknologi menjadi semacam outsource yang mengambil alih pekerjaan yang seharusnya kita lakukan.
Dengan demikian bagaimanakah caranya menangani sampah offline dan online nyepi? mengolahnya atau menafikannya. Kecanggihan teknologi menggungguli dunia kenyataan, dunia real, manusia di ambang kesulitan membedakan mana nyata dan mana maya (virtual). Dunia digital telah membawa pecandunya kedunia yang bersifat serba cepat, terburu-buru, perhatian terpecah serta proses belajar di atas permukaan saja. Selama diri kita menjadi obyek penikmat teknologi maka akan tenggelam dalam nikmatnya. Maka salahnya bukan pada offline dan onlinenya tapi diri harus menjadi subyek atas semua itu dengan berpayung pada wiweka jnana.
Susastra Hindu menjelaskan dengan memutar balikkan amuter tutur. Dunia ini demikian menariknya, demikian indahnya sehingga pikiran orang diinabobokkan melalui indriyanya. Hal ini menambah kemelekatan, kemesraan dirinya pada dunia ini, sehingga dapat lupa akan hakekat kemanusiaannya. Manusia bekerja (karya), ego, marah (gni), makan, berpoya-poya (lelanguan), rekreasi (lelungan) maka diputarbalikakkan atau dikendalikan (amati). Maka dari itulah harus dikendalikan indriyanya supaya sang pribadi dapat menjadikan ia budaknya dan bukan pribadi menjadi budaknya. Dalam Katha Upanisad I.3 disebutkan “Atmanam rathinam viddhi, sariram rathamtu, budhim tu saradem viddhi, manah pragraham eva ca". Artinya ketahuilah bahwa sang pribadi adalah tuannya kereta, badan adalah kereta, Ketahuilah bahwa kebijaksanaan itu adalah kusir dan pikiran adalah tali kekangnya.
Nikmat media sosial akan menenggelamkan manusia ketika tiada kendali, spritualitaspun akan rapuh, tindak kekerasan, hoax menjadi virus yang efektif menebar kebencian, fitnah, kebohongan. Muka ganda medsos Hindu, di satu sisi bisa menjadi arena kebebasan berekpresi, untuk menyampaikan pesan dengan bahasa agama menyuarakan pengetahuan, pengalaman agama. Namun disisi lain juga individu dan kelompok tertentu memiliki kepentingan tertentu menjadikan agama sebagai alat mencapai tujuannya. Emosi keagamaan mengandung kadar sensitfitas, bisa membangkitkan masa untuk bergerak bahkan melakukan tindakan anarakis atas nama agama. Propaganda menyebar fitnah melancarkan hate speech (kebencian) pada lawan-lawannya, oleh karenanya kebenaran media sosial sangat relatif tergantung opini yang dikehendaki agar penggunanya terpengaruh.
Daring (online) telah mempertemukan manusia diberbagai belahan dunia dalam berbagai dimensi kehidupan, membangun komunikasi secara berkesinambungan dalam berbagai hal baik politik, ekonomi, sosial, budaya atau hubungan personal. Luring (offline) keadaan terputus akan membuat kondisi berlawanan yang sudah tentu menuai pro dan kontra dalam pelaksanaan nyepi. Sebut saja ketika nyepi bagaimana internet harus di matikan? hal ini akan menuai pro dan kontra di kalangan umat Hindu. Namun yang patut disadari pula saat nyepi adalah membangun kesadaran diri, bukan hanya nyepi di tataran gejala yaitu mematikan lampu, tidak bekerja, tidak makan, tidak bepergian. Akan tetapi yang lebih penting adalah kontemplasi, refleksi diri tentang kesejatian diri, membangun kesadaran diri yang sejati (atangi).
Sampah during dan luring nyepi akan berserakan, namun sebagai manusia yang utama purusatama tentu akan mengolah sampah tersebut menjadi amerta. Sudah tentu banyak godaan dalam melakukan catur brata panyepian. Kedisplinan dan ketulusiklasari akan melaksanakan nyepi, sradha dan bhakti, akan mendapat godaan dari berbagai hal, untuk itu musti instropeksi diri, mulat sarira. Keinginan yang tak terkendali adalah sumber penderitaan berwajah dua (suka-duka) lebih tepat diumpamakan sebagai candu yang membuat sang penikmat ekstasi. Ia kecanduan menjadi linglung dan kebingungan, karena mentalnya terganggu. Lalu perkembangannya tidak jarang menjadi tindakan amoral (asubhakarma) yang mawujud dalam tindakan yang disebut sad atatayi: (a) agnida: pembakaran, pengeboman dan sejenisnya, (b) wisada: meracuni, menyebar virus secara sengaja untuk membunuh orang atau mahluk lain dan sejenisnya (c) atharwa: melakukan ilmu sihir dan sejenisnya, (d) sastraghna: mengamuk, merampok dan sejenisnya (e) dratikrama: melakukan tindakan pelecehan seksual (f) rajapisuna: memfitnah, memprofokasi atau menyebarkan isu negatif dan sejenisnya Inilah era 4.0, supercanggih, super cepat merambat pundi akar kehidupan, waspadalah jangan terjebak. Apabila terjebak kelautan modemisasi tersebut, artinya manusia sudah terasing dan menyamakan dirinya dengan materi tersebut. Maka yang menjadi sumber sesungguhnya adalah manusia agar bisa mengendalikan diri. Dalam Katha Upanisad I.4 “Indriya-indriya kata mereka adalah kudanya, Objek-objek indriya adalah jalannya, Atman yang berhubungan dengan raga, indra, dan manah adalah penikmat, kata sang bijak.
Oleh: I Nyoman Dayuh
Source: Majalah Wartam Edisi 48 l Februari 2019