Pancasila Sebagai Filter Membangun Kebudayaan Indonesia

Setelah reformasi berjalan kurang lebih selama sekian tahun, keberadaan Dasar Negara Pancasila sangat jarang dibicarakan orang. Bahkan sampai ada yang mengatakan bahwa kita sangat alergi bila membicarakan Pancasila. Padahal kita sudah sepakat bahwa Pancasila itu adalah segala-galanya bagi kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila bukan sebatas sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, dan Dasar Negara Republik Indonesia yang berbudi pekerti luhur yang berkesinambungan seperti apa yang terdapat dalam Pancasila Krana yang ditulis dalam Sutasoma oleh Empu Tantular. Pancasila Krana yang dimaksud yaitu :

1. Tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa)
2. Tidak boleh mencuri (asteya)
3. Tidak boleh berjiwa dengki (Indriya Nigraha)
4. Tidak boleh Berbohong (amrsawada)
5. Tidak boleh mabuk minum-minuman keras (dama) (Subandi, 2004).

Akan tetapi semua ini tidak menjadi perhatian kita semua, sehingga kita sekarang menjadi bangsa yang "kebablasan" dalam penerima unsur-unsur budaya dari luar. Padahal kita sudah punya filter untuk menyaring unsur-unsur budaya asing.

Di dalam interaksinya dengan dunia luar, kebudayaan Indonesia adalah terbuka sifatnya. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya kontak-kontak dengan budaya luar, mulai dari kebudayaan India, kebudayaan CUT kebudayaan Timur Tengah dan kebudayaan Barat. Kontak-kontak budaya tersebut masih berlangsung sampai sekarang. Dengan adanya keterbukaan inilah yang mendorong dan memungkinkan terjadinya penyiapan-penyiapan atas unsur-unsur kebudayaan asing yang dirasakan sesuai dengan kepribadiannya, sehingga dengan demikian tidak mengherankan akan terjadi perkayaan kebudayaan tanpa harus mematikan unsur-unsur dari kedua belah pihak.

Kontak-kontak itulah yang memungkinkan terjadinya proses akulturasi (pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu, saling memberi dan saling menerima). Di dalam proses akulturasi inilah terjadi penggabungan secara wajar akibat penyaringan secara sadar maupun tidak terhadap unsur-unsur kebudayaan asing.

Dinamika dan kreativitas bangsa sebagai wujud kekuatan budaya bangsa memungkinkan proses akulturasi itu berlangsung tanpa harus menghilangkan authenticity (keaslian) budaya yang bersangkutan, dan justru inilah yang memungkinkan terjadinya penyerapan-penyerapan secara sehat. Dinamika dan kreativitas itu memberikan kemungkinan bagi terciptanya iklim yang dibutuhkan untuk melakukan pemikiran-pemikiran maupun menangkal unsur-unsur kebudayaan dari luar maupun kebudayaan daerah yang tidak diperlukan lagi sebab, tidak semua kebudayaan daerah yang terwakili oleh semboyan Bhineka Tunggal Ika itu yang harus dipertahankan untuk kehidupan dewasa sekarang. Contoh yang ada di Ahli, budaya Mesatya, mengasingkan bagi anggota yang melahirkan manak salah (kembar buncing, dll).

Di dalam situasi keterbukaan budaya semacam ini, biasanya suatu negara bangsa ini ingin mempunyai batas jangkauan "kuasa" kebudayaan-nya, jati dirinya, yang tidak saja memfilteri unsur-unsur budaya yang timbul dan berkembang di daerah-daerah, akan tetapi juga unsur-unsur budaya asing. Dengan demikian ada kaidah-kaidah, maupun rincian dari sila-silanya. Prof. Noto Negoro menamakannya sebagai fundamental norm atau grund norm (1957). Pancasila yang demikian ini bertindak sebagai ukuran selama mengacu pada perkembangan puncak-puncak budaya di daerah dan sebagai "penyaring" anjang mengacu pada penerimaan terhadap budaya dari luar/asing.

Dijadikan Pancasila sebagai filter karena secara ontologi, Pancasila telah mengandung sifat kenusantaraan yang nampak dalam Bhineka Tunggal Ika, dinamis dan terbuka, sebagai inti dan jiwa masyarakat, dan sebagai pedoman moral. Dari kedudukannya yang serba sentral dalam seluruh kehidupan masyarakat, Pancasila itu dapat ditegaskan sebagai asas kultural masyarakat Indonesia. Sebagai asas Kultural ia mewadahi dan mengisi kebudayaan nasional. Ia adalah wadah sekaligus isinya kebudayaan nasional Indonesia. Wadah mengandung arti bahwa di dalam alam Pancasila itulah kebudayaan nasional tumbuh dan berkembang. Sebagai wadah Pancasila mempunyai kemampuan untuk mewadahi segala macam, bentuk, sifat, hakekat (esensi) dan segala corak kebudayaan yang tumbuh di Indonesia. Sedangkan sebagai isi berarti bahwa nilai-nilai moral Pancasila itulah yang menjadi jati dirinya kebudayaan nasional Indonesia. Nilai-nilai moral yang dimaksudkan:

- Sila Pertama. Sila ini mengandung makna bahwa nilai-nilai keutuhan diberi tempat yang agung dalam kehidupan negara, masyarakat dan orang Indonesia. Sila ini mendidik bangsa Indonesia agar mereka taat dan taklim kepada Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Ketaatan tersebut diharapkan nampak dalam pribadi-nya, baik dalam kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara. Sila pertama ini harus dipakai sebagai suatu norma ukuran baik dan buruk.

- Sila Kedua. Sila Kedua ini hakekat-nya mengarahkan adanya sikap hormat-menghormati bangsa lain. Dengan demikian, perbuatan yang baik untuk kepentingan manusia, dinamai perbuatan berkeprimanusiaan.

- Sila Ketiga. Persatuan yang dimaksud dalam hal ini adalah persatuan dari Bhineka Tunggal Ika. Sedangkan kesatuan bangsa yang tidak dapat dipecah-pecah ia adalah satu kebulatan, bukannya terbagi atas ras, bahasa daerah, agama, atas kepercayaan, dan batas-batas negeri (kedaerahan). Semuanya ini sesuai dengan ajaran moral.

- Sila Keempat. Hakekat dari sila ini bahwa kerakyatan adalah mencapai mufakat, dan musyawarah dengan penuh kebijaksanaan. Bermusyawarah dengan penuh kebijaksanaan berarti bermoral dengan empat ciri pokok yaitu : kebijakan, kewiraan, kepatuhan dan keadilan.

- Sila Kelima. Bangsa Indonesia merdeka dan mempunyai kedudukan yang sederajat dengan bangsa lain, akan tetapi juga agar hidup tentram dan sejahtera lahir dan bathin tanpa dikendalikan kaum kapitalis (Sunoto, 1995).

Nilai-nilai moral Pancasila atau budi pekerti luhur tersebut di atas merupakan inti kekuatan yang menyemangati dan juga mendorong budaya nasional untuk maju dan berkembang. Selain itu, Pancasila juga kita akui sebagai dasar atau landasan pedoman pengembangan dan sekaligus sebagai tujuan cita-cita kebudayaan nasional Indonesia. Dengan penegasan ini berarti bahwa kebudayaan nasional harus dibina dan dikembangkan atas dasar norma-norma Pancasila dan diarahkan pada pengaktualisasian nilai-nilai yang tetap mencerminkan kepribadian Pancasila. Memang pengaktualisasiannya tidak mungkin sama dan justru harus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Nilai-nilai dasarnya tetap tetapi nilai-nilai intrumennya perlu dikembangkan agar Pancasila tidak ketinggalan zaman dan tidak beku.

Keterbukaan sebagai salah satu sifat utama yang dimiliki Pancasila memungkinkan pula terjadinya interaksi budaya Nusantara dengan budaya luar. Di dalam interaksinya inilah terjadi penyerapan atas unsur-unsur kebudayaan daerah maupun asing. Namun demikian tidak semua unsur-unsur itu diserap untuk memperkaya budaya nasional. Untuk itu butuh penyaring (filter) agar pemilihan unsur-unsur budaya secara tepat dapat berlangsung, dengan demikian unsur-unsur yang dapat merusak atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila tersaring dan tidak diterima. Karena Pancasila itu sebagai landasan dan pedoman, maka ia juga sebagai pengevaluasi dan penyeleksinya atau penyaringan (filternya). Unsur-unsur kebudayaan daerah maupun asing yang tidak sesuai dengan moral Pancasila disingkirkan, dan sebaliknya yang sesuai dan mampu mengembangkannya sesuai dengan jati dirinya itu perlu diterima dan didorong untuk maju.

Sehubungan dengan hal ini dapat saya kutipkan pendapat Bung Hatta pada Kongres Kebudayaan Nasional ke-II di Bandung tahun 1951, sebagai berikut :  " ...... Tetapi Bangsa kita diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa, dapat mempertahankan dasar kebudayaan sendiri di bawah pengaruh apapun juga dari bangsa asing. Adat istiadat kita yang lembut, sebagai pusaka bangsa, ternyata tidak kuno sifatnya, memberi lapangan untuk berkembang dengan tidak menolak kebudayaan asing. Kalau saya melihat kemajuan kebudayaan dari dulu sampai sekarang, melihat cara bangsa kita menerima anasir-anasir yang membangun dari kebudayaan asing dengan tiada melupakan kebudayaan sendiri, maka saya tidak sangsi, bahwa bangsa kita akan lupa pada rumpunnya. Sejarah kebudayaan kita inilah hendaknya menjadi pedoman bagi kita untuk menentukan politik kultur dimasa yang akan datang. Dan, apabila kita perhatikan sifat berbagai praedvies, yang akan mempengaruhi jalan pertukaran pikiran dalam Kongres ini, maka nyatalah bahwa kuat sekali minat untuk memperkembangkan kebudayaan kita dengan berpegang kepada Pancasila. Artinya memperoleh kemajuan berbagai rupa di atas rumpun kebudayaan sendiri.

Bagaimanapun juga, Pancasila dapat dijadikan pegangan untuk membangun kultur, memperkembangkan seni berbagai rupa, dan memperdalam ilmu dan pengetahuan. Apabila kita sekarang dengan insyaf membangun kebudayaan kita, maka pusat dari pembangunan kultur itu akan bertempat di kota-kota pula. Kita harus mengadakan "pembongkaran" dan mengisi kota-kota dengan jiwa nasional. Kita harus awas dan waspada menyaring kebudayaan asing. Ambilah inti, buanglah kulit. Intinya kita harus pegang dan pergunakan untuk memperkaya kebudayaan kita, bukan kulitnya.

Maka karena itu saya tegaskan di sini, kalau meniru kebudayaan asing, janganlah kulitnya diambil, tetapi isinya. Yang terutama patut ditiru daripada bangsa Barat ialah aktivitetnya dalam berpikir dan berbuat. Untuk memberi isi kepada kemerdekaan kita, supaya kita selekas-lekasnya menjadi suatu bangun yang makmur, jasmani dan rohani, kita harus memperbanyak aktivitet. Dengan cara yang aktif kita peiajari ilmu yang disampaikan orang Barat kepada kita, dan sedapat-dapat-nya kita perluas dan kembangkan keseluruh masyarakat. Banyak yang dapat kita peiajari dari kebudayaan asing. Apabila kita pandai menyaring dengan kritis, kita tak perlu takut-takut melihat masuknya kebudayaan asing ke negeri kita. Tiga ratus tahun lebih kita dikuasai oleh bangsa Belanda dan kebudayaan kita tidak roboh karena itu. Di masa sekarang banyak yang perlu kita ambil dari dunia Barat, tapi
terimalah dengan jalan menyesuaikannya kepada kebudayaan kita...." (Tjan Silalahi, 1991).

Berkaitan dengan hal itu Kihajar Dewantara yang kita ketahui banyak berperanan dalam penyusunan pasal 32 UUD 1945 itu, mengatakan : " .... Di zaman kebingungan ini seharusnya kita sendiri, kultur kita sendiri, kita pakai sebagai selaras dengan kodrat kita dan akan memberi kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaan bangsa kita sendiri, kita lalu pantas berhubungan dengan bangsa-bangsa lain .... "(Ibid).

Dalam perkembangan Era Globalisasi, kita menyadari akan perlunya menguasai IPTEK dan ekonomi modern sebagai bagian dari budaya bangsa. Namun demikian penguasaan IPTEK dan ekonomi modern itu harus dilakukan melalui jalur sosio kultural. Ini berarti bahwa pembangunan IPTEK dan ekonomi modern harus semakin meningkat peradaban manusia. Bagi bangsa Indonesia pembangunan IPTEK dan ekonomi modern harus semakin bermuara pada kualitas manusia dan masyarakat Indonesia. Pembangunan IPTEK dan ekonomi harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan bagi setinggi-tingginya derajat kemanusiaan bangsa dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Dalam hal ini akan terjadi pembimbingan dan penyesuaian nilai-nilai moral Pancasila atas nilai-nilai yang diperlukan bagi tumbuhnya IPTEK dan ekonomi modern. Dengan demikian pembangunan IPTEK dan ekonomi modern itu diharapkan akan selalu merupakan pengaktualisasian dari nilai-nilai Pancasila.

Karena Pancasila itu sebagai alat ukuran dan saringan, maka dia berada di hulu, dipermukaan, jadi sebagai landasan. Tetapi disamping itu Pancasila juga terbentuk dari kebudayaan dan pembudayaan Indonesia. Dari Pancasila, dalam Pancasila, melalui Pancasila dan menuju Pancasila, itulah hakekat dari kebudayaan nasional Indonesia. Pancasila adalah wadah isi dan tujuan kebudayaan nasional. Artinya kebudayaan Indonesia yang terjadi itu adalah budaya Pancasila, yang secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Budaya ini mempunyai cita-cita moral yang luhur dan etika yang tinggi sesuai dengan pengakuan dan tanggung jawab insani (Indonesia) yang transendental.

2. Dia harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang universal serta menjunjung tinggi keadilan dan mengikuti peradaban dunia. Sebagai hasil usaha budinya manusia, maka dia harus memajukan dan memper-tinggi derajat kemanusiaan. Pengembangan kebudayaan nasional harus berorientasi pada manusia dengan menempatkannya sebagai subyek dan tujuan kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Manusia Indonesia diakui sebagai pribadi yang mempunyai martabat mulia dan hak-hak asasi yang harus dijunjung tinggi. Pembangunan kebudayaan nasional pada akhirnya harus menuju kepada pembanguna masyarakat manusiawi.

3. Budaya yang dikembangkan, baik yang berasal dari kebudayaan di daerah atau lebih-lebih yang berasal dari luar (asing) harus dapat menjaga dan memperteguh "Persatuan dan Kesatuan Indonesia" menjaga integrasi nasional dan menjauhkan bangsa Indonesia dari disintegrasi maupun prilaku-prilaku yang distruktif. Dengan demikian, bagaimanapun baiknya satu aspek kebudayaan yang ada, apabila dia tidak diterima atau belum diterima secara iklas oleh tubuh budaya bangsa Indonesia, karena dapat mengakibatkan disintegrasi nasional, harus dihindari. Sebaliknya yang dapat menjadi integrasi ataupun meningkatkan persatuan dan kesatuan nasional harus diterima dan didorong maju.

4. Budaya Indonesia harus berkembang ke arah pengakuan terhadap nilai-nilai demokrasi. Sebagaimana demokrasi mengakui adanya perbedaan, maka keanekaragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat atau di daerah tertentu tetap diakui dan dipelihara keberadaannya. Ia jangan sampai dimatikan dan dibiarkan tumbuh, yang justru harus diakui sebagai kekayaan bangsa dan perlu didorong maju. Kebudayaan-kebudayaan setempat diharapkan dapat berkem-bang dan ikut membentuk kebu-dayaan nasional sebagai kerangka sekaligus "soko guru" kehidupan nasional dalam persatuan dan kesatuan.

5. Pada akhirnya budaya itu harus dapat mensejahterakan seluruh bangsa Indonesia berdasarkan keadilan sosial, tidak hanya dalam arti jasmaniah tetapi juga bathiniah. Oleh karena itu dalam pengembangan budaya bangsa harus selalu memperhatikan masyarakat sebagai subyek (pelaku) pengemban dan pengembang kebudayaan. Perkembangan budaya akhirnya harus selalu ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan. Budaya yang akan dikebangkan oleh bangsa Indonesia harus selalu untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Secara singkat dapat dikatakan seperti apa yang ditegaskan oleh penjelasan pasal 32 UUD 1945, sekaligus juga diingatkan bahwa negara dan masyarakat diwajibkan untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Corak dan sifat kebudayaan nasional adalah kenusantaraan vang terwujud dalam Bhineka Tunggal Ika. Kebhinekaan adalah kekayaan tetap diakui sepanjang dalam kerangka ketunggalikaan yang berdasarkan Pancasila. Dari Pancasila, dalam Pancasila, dan melalui Pancasila itulah hakekat kebudayaan nasional Indonesia budaya nasional tidak lain adalah budaya Pancasila.

Dugaan penegasan ini ditunjukkan bahwa kebudayaan nasional Indonesia itu tetap berorientasi pada manusia sebagai subjek dan tujuan kehidupan nasional. Kebudayaan harus memungkinkan setiap insan untuk mengembangkan dirinya secara wajar dalam pencapaian cita-cita insani, baik dalam tata lahirnya maupun tata bathiniahnya. Dengan demikian pengembangan budaya nasional akan tetap menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan nasional.

Sifat keterbukaan Pancasila dan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi, secara teknis tidak mungkin kita membatasi masuknya unsur-unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan nasional. Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kebudayaan yang menutup dirinya dan menolak pertukaran dengan kebudayaan-kebudayaan lain biasanya menjadi beku dan ketinggalan zaman. Sebaliknya perkembangan kebudayaan suatu bangsa yang mengabaikan unsur-unsur kebudayaan daerah juga akan kehilangan jati dirinya. Akulturasi adalah jalan yang paling dapat diterima. Akulturasi dapat berlangsung bila jati diri budaya bangsa tetap menjadi pegangan dan pedoman penyusunan dan pengembangan budaya bangsa.

Source: I Made Purwa l Warta Hindu Dharma NO. 478 Nopember 2006