Nyepi dan Peradaban Berkualitas

Tanggal 1 bulan Waisaka Tahun Saka 1939 bertepatan dengan Selasa, 28 Maret 2017, dirayakan umat Hindu sebagai Tahun Baru Saka. Sudah lama umat Hindu Indonesia merayakan Tahun Baru Saka dengan melaksanakan Nyepi. Ritual Nyepi diawali dengan melaksanakan melasti, kemudian dilanjutkan dengan tawur agung. Lalu, Nyepi selama penuh dan diakhiri ngembak nyepi atau geni.

Melasti dilaksanakan dengan mengambil air suci (tirtha amerta) merupakan upaya penyucian diri manusia guna meningkatkan kualitas hidup sebelum memasuki tahun baru. Secara harfiah, melasti dari kata melas atau “melepas” dan asti atau “ada.” Artinya melepas keberadaan unsur-unsur negatif dalam diri baik berupa pikiran, perkataan, maupun perbuatan. Dengan demikian, setiap insan diarahkan untuk senantiasa berpikir, berkata, dan berbuat positif.

Sehari sebelum Nyepi, dilaksanakan upacara tawur agung secara serentak di seluruh Nusantara. Ini merupakan upaya harmonisasi alam semesta beserta isinya. Harmonisasi tersebut sangatlah penting di tengah semakin banyak peristiwa alam yang menyebabkan bencana yang mengakibatkan korban materi dan nyawa. Secara nasional, upacara tawur agung diselenggarakan di Pelataran Candi Prambanan, Yogyakarta.

Melalui upacara ini, manusia khususnya umat Hindu, disadarkan pentingnya membangun dan membina kehidupan selaras dengan alam sekitar.

Perlu disadari bahwa berbagai bencana juga diakibatkan perilaku manusia yang penuh kecongkakan memperlakukan alam semena-mena. Perambahan dan eksploitasi hutan telah menstimulasi berbagai bencana akibat perubahan iklim. Belum lagi dengan kian maraknya alih fungsi lahan secara masif. Ini telah mengakibatkan tanah longsor dan banjir meluas.

Nyepi sebagai puncak perayaan Tahun Baru Saka, sebagai upaya evaluasi, refleksi dan instrospeksi perjalanan satu tahun terakhir sebelum memasuki tahun baru. Selama sehari penuh, umat Hindu merenungkan diri guna menata hidup yang lebih baik pada tahun mendatang.

Untuk menciptakan suasana kondusif dan mendukung upaya permenungan tersebut, saat Nyepi, umat Hindu melaksanakan empat pantangan (catur brata): amati gni, amati karya, amati lelungaan, dan amati lelanguan. Amati gni yang secara fisik tidak menyalakan api sebagai simbol upaya untuk mematikan segala nafsu yang bertentangan dengan kemanusiaan. Contoh, serakah, menghalalkan segala cara, mau menang sendiri, dan tidak menghormati hak orang lain.

Amati karya alias tidak bekerja. Maksudnya, sebagai upaya mematikan kerja-kerja tidak produktif, seperti mencuri dalam berbagai bentuk (termasuk korupsi), berzinah (termasuk selingkuh), melakukan kekerasan dan perusakan. Amati lelungaan berarti tidak bepergian agar menghilangkan segala bentuk pemborosan waktu, tenaga, maupun materi. Dengan tidak bepergian, tanpa alasan dan tujuan jelas, orang diarahkan untuk hidup hemat dan menghargai waktu.

Sementara amati lelanguan secara simbolis dilaksanakan dengan tidak menikmati hiburan. Tujuannya, mengekang diri terhadap perilaku hedonis dan berhura-hura. Hiburan dalam berbagai bentuk, hendaknya tidak saja dimanfaatkan sebagai tontonan, tetapi juga didayagunakan menjadi tuntunan.

Ngembak nyepi atau ngembak geni, menandai berakhirnya rangkaian perayaan Tahun Baru Saka. Namun, berbagai bentuk pengekangan yang disimbolkan dengan ajaran catur brata hendaknya tetap dilaksanakan secara konsisten, berkesinambungan, dan berkelanjutan. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas diri dapat diwujudkan dan ditularkan kepada sesama.

Individu berkualitas akan menciptakan masyarakat bermutu. Akhirnya, ini akan membangun peradaban berkualitas. Peradaban berkualitas dibangun masyarakat yang mampu memilah antara yang benar dan salah. Dia berani memilih yang benar dan meninggalkan tidak benar.

Semoga dengan perayaan Tahun Baru Saka, kehidupan umat semakin lebih manusiawi.

Oleh: I Ketut Parwata I Sekretaris Umum Pengurus Harian PHDI Pusat
Source: www.koran-jakarta.com