Pūjayed aśanaṁ nitya,
Adyāc ca-etad akutsayan
Dṛṣṭvā hṛṣyet prasīdec ca
Pratinandec ca sarvaśaḥ
(Manawa Dharma Śastra 2.54)
Artinya:
Hendaknya ia menghargai makanan yang diperolehnya dan tidak pernah mengeluh, saat ia memperoleh makanan itu hendaknya ia bersuka cita, menampakkan wajah gembira, dan memohon untuk selalu diijinkan memperoleh makanan.
Tradisi “melakukan sesuatu” sebelum makan merupakan peradaban sangat kuna. Ia telah eksis pada zaman Yajur Veda paling tidak, yang berarti zaman yang sudah tidak bisa diperkirakan entah oleh ketajaman kecerdasan manusia ataupun oleh mesin paling modern sekalipun.
Tradisi leluhur Bali menyisihkan sedikit makanan di sisi piring sebelum makan ternyata merupakan tradisi yang indah yang perlu diabadikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya sebagai orang yang menghormati dan mengerti ajaran leluhur serta ingin melestarikannya demi kesejahteraan hidup lahir batin. Terdapat pula tradisi tidak boleh berbicara jika sedang menghadapi makanan. Makanan dihormati sebagai (dan memang) amerta oleh leluhur dengan istilah “nunas amerta”.
Padma Purāṇa menyebutkan “Hasta-pade mukhe caiva pañcardro bhojanaṁ caret...... śata varṣāni jīvanti”, bahwa orang hendaknya mencuci kelima anggota badannya terlebih dahulu sebelum makan. Dengan melakukan hal itu, orang akan bisa menikmati usia hidup yang panjang. Kelima anggota badan dimaksud adalah kedua kaki, kedua tangan dan muka. Hal ini didukung pula oleh kitab Mahābhārata, Śānti Parwa 193.6; pañcardro bhojanaṁ bhunjyat.
Terdapat pula aturan bawah manusia diwajibkan oleh sastra suci untuk makan hanya dua kali sehari, yaitu pagi dan malam (sāyang prātar manuṣyānāmasanaṁ veda nirmitam). Jika orang berhasil melaksanakan kebiasaan tersebut dalam keseharaiannya maka ia mendapatkan hasil dari pelaksanaan puasa.
Tidak dianjurkan makan ditempat gelap atau sambil tidur (nāndhakāre ca śayanaṁ bhojanaṁ naiva karayet). “Cening..... da madaar di sandikalane......” begitu nasihat yang kita dengan waktu kecil. Ternyata nasihat orang tua Bali itu ada dukungan sastranya: “na sandhyāyaṁ bhuñjita” – jangan makan pada saat senjakala (demikian kitab Vasistha Smṛti), didukung oleh “na sandyayoh” (Susruta Samhita), asandhyaṁ na bhuñjita (Boudhāyana Smṛti), nāsniyat sandyayor dvayah (Padma Purāṇa).
Maka hendaknya selalu menghadap ke Utara atau ke Timur (demikian nasihat dari kitab Vasistha Smṛti, Laghuharita Smṛti, Viṣṇu Purāṇa, Vama Purāṇa, Padma Purāṇa). Sastra suci tidak menyetujui maka tanpa mandi terlebih dahulu “bina snānena yo bhungkte......” (Vadhula Smṛti, Viṣṇu Purāṇa, Skanda Purāṇa, Padma Purāṇa). Sebaiknya tidak makan “carikan” (makanan bekas dimakan orang lain) dan tidak memberikan orang makan “carikan” (Manu Smeṛti, Bhaviṣya Purāṇa, Vasistha Smṛti).
Leluhur menyebutkan makan dengan cara sangat indah yaitu Nunas Ajengan. Istilah ini mempunyai pengertian bahwa kita tidak memiliki makan tetapi memohon makanan dari pemiliknya, yaitu Hyang Parama Iswhara. Kesadaran seperti ini sangat indah untuk diajegkan di dalam hati mengingat memang sebenar-benarnya kita ini tidak mempunya apa-apa di dunia ini.
Lahir ke dunia ini tidak membawa apa-apa selain hanya tangisan yang keras dan nanti juga akan meninggalkan dunia ini tanpa membawa apa-apa. Kesadaran yang diwujudkan dalam kalimat Nunas Ajengan sangatlah bermakna. Ia sangat pantas untuk diajengkan, mulai dari dalam keseharian diri sendiri dan kemudia ditularkan kepada anak cucu. Paling tidak, ajeg tradisi leluhur sesederhana itu dapat dilakukan oleh semua. Tidak aka nada yang menyatakan “saya tidak bisa melakukan hal ini”.
Bagi diri sendiri, tata cara ini sangatlah mulia. Kita memohon makanan karena makanan tersebut sudah bukan makanan lagi. Dalam ajaran Veda, orang memasak makanan bukanlah untuk diri sendiri melainkan untuk persembahan kepada Tuhan. Makanan yang dimasak itu di-yajña-kan kepada-Nya, dipersembahkan terlebih dahulu kepada-Nya. Oleh karena itu, makanan tersebut sudah bukan milik pemiliknya. Makanan yang dimasak dan dipersembahkan kepada Tuhan tidak lagi berupa makanan melainkan ia sudah berubah menjadi amerta (yajña-śiṣṭāmṛta bhujo), karunia Tuhan yang dinamakan Lungsuran atau Prasadam. Istilah “ngejot”, “Mesaiban”, dan “Yajṇa Śeṣa” merupakan tradisi indah mulia yang patut diajegkan.
Untuk memohon makanan atau Nunas Ajengan Lungsuran Tuhan Yang Maha Esa itulah kita perlu mempersipakan diri dalam keaadan bersih, paling tidak seperti disebutkan di atas. Panca Anga kita harus dibersihkan dengan air terlebih dahulu. Menurut para orang tua, ketika orang mencuci Panca Anga sebelum Nunas Ajengan, kebiasaan indah itu dapat memperpanjang usia seseorang. Apa hubungannya antara mencuci Panca Anga itu sebelum makan, para saintis bisa menjelaskannya secara saintifik. Tangan yang bersih bebas dari kotoran akan memastikan makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak tercemar kotoran atau kuman penyakit.
Selain itu, ujung-ujung jari tangan mengandung titif saraf yang berhubungan dengan enzim yang berhubungan dengan pencernaan. Jari yang bersih menyebabkan saraf-saraf lebih peka dalam merasakan tekstur dan suhu makanan. Informasi ini dikirim ke kelenjar untuk mempersiapkan jenis enzim yang diperlukan. Ini juga alas an mengapa makanan dengan jemari tangan lebih baik daripada dengan alat seperti sendok atau sumpit. Kalau jari tangan bisa memegang makanan (suhunya tidak panas) artinya lidah lidah juga bisa menerima, tidak akan melepuh. “Pesan” tersebut tidak bisa disampaikan oleh sendok, garpu atau sumpit.
Biasanya orang akan memilih makanan menghadap kea rah utara atau timur. Makan menghadap ke arah barat disebutkan akan menumbuhkan berbagai jenis penyakit, sedangkan makan menghadap ke selatan akan menyebabkan orang menjadi Preta atau roh gentayangan.
Leluhur juga memberikan wanti-wanti tidak boleh mencela makanan. Apa pun dan bagaimanapun makanan di hadapan kita, itulah karunia Tuhan. Mengingat makanan merupakan amerta penghidup maka selain tidak menghina makanan juga dianjurkan agar jangan makan menggunakan piring yang sudah pecah, tidak makan sambil tidur.
Mereka yang hendak memasak makanan hendaknya mandi terlebih dahulu agar badan dan pikiran menjadi lebih bersih serta damai. Badan dan pikiran yang bersih akan memudahkan mereka yang memasak makanan untuk memasukkan rasa kasih sayang ke dalam makanan. Dengan demikian, setiap anggota keluarga yang memakan makanan tersebut pasti akan terbantu kesadarannya terjaga menjadi lebih bersih dan damai.
Suatu hari, saya diundang makan siang oleh seorang pengusaha kaya di Eropa. Anehnya, saya bukannya diajak makan ke restoran mewah, tetapi dibawa ke rumahnya dan saya disuguhkan makan yang ia masak sendiri. Dengan penuh kasih ia memasak, walaupun ia sesungguhnya tidak perlu melakukan hal itu. Banyak yang bisa melakukannya, tetapi ia, seorang pengusaha yang sangat sibuk, meluangkan diri memasak untuk saya. Ketika kita duduk siap makan, saya mengajak dia berdoa lalu saya sampaikan bahwa kita tidak berhak memakan makanan itu langsung tanpa mengingat Tuhan. Makanan tersebut hendaknya dikembalikan terlebih dahulu, dipersembahkan kepada pemiliknya, yaitu Tuhan.
Bhgavad-gītā mengajarkan “yajña śiṣṭāśinaḥ sanṭo mucyante sarva-kilbiṣaiḥ, bhujañte te tu aghaṁ pāpā ye pacanty ātma kāraṇāt” – orang saleh yang memakan makanan yang sudah dipersembahkan terlebih dahulu sebagai persembahan suci, terbebaskan dari segala dosa. Sedangkan mereka yang memasak makanan untuk kenikmatan diri sendiri, sesungguhnya mereka hanya memakan dosa.
Manawa Dharam Śastra mengajarkan, “pūjitaṁ hy aśanaṁ nityaṁ balam ūrjaṁ ca yacchati, apūjitaṁ tu tad bhuktam ubhayaṁ nāśayed idam” – dengan mempersembahkan kepada Tuhan (pūjita) maka makanan itu memberikan tenaga (bala) dan kekuatan (ūrja), tetapi bila tidak dipersembahkan (apūjita) pastilah akan menghancurkan keduanya (tenaga dan kekuatan). Selanjutnya saya ajarkan agar kawan saya, pengusaha tersebut membiasakan diri menyisihkan sedikit nasi di pinggir piring, tanpa harus memperlihatkan kepada orang-orang disekitar bahwa kita melakukan sesuatu yang pada umumnya orang tidak lakukan. Setelah berdoa secara sederhana barulah kami melanjutkan menikmati makanan yang ia masak. Belakangan, ia mulai mempraktikkan berdoa dan menyisihkan sedikit di pinggir piring makanan yang dimakannya.
Oleh: Darmayasa
Source: Bali Post, Minggu Pon, 28 Mei 2017