Mata bhumi
putro'ham prthivyah
(Atharva Veda 12.1.12)
“Bhumi adalah ibuku dan Aku adalah putra Bhumi Pertiwi”.
BHUMI adalah bumi ini, tempat kita diajak berpijak untuk menjadi bijak. Bumi memberi, memelihara dan menghidupi semua. “Mata bhumi”, bumi adalah Ibu. Tempat kita berpijak ini adalah Ibu. Bumi yang menghidupi kita ini adalah Ibu. Bumi atau Pertiwi melahirkan, membesarkan, memelihara, menjaga, menghidupi dan akhirnya “mengambil” kembali ke dalam “pelukan”-nya pada waktunya.
Bhumi adalah putri dari Dewa Prajapati. Beliau di-hubung-hubungkan dengan Dewa Dyaus atau Dewa Langit. Bukan tidak mungkin hal ini yang menjadi “rujukan” para leluhur Bali menyebut “Bapa Akasha Ibu Pertiwi”, bahwa Akasha/langit adalah Ayah dan Pertiwi/humi adalah Ibu.
Tradisi leluhur juga menyebutkan bahwa Pertiwi adalah permaisuri dari Sri Visnu dengan putranya bernama Bhoma. Visnu dalam hal ini adalah avatara Visnu yang ke-3, yaitu Varaha Avatara, Sri Visnu yang ber-avatara mengambil rupa atau bentuk sebagai babi hutan.
Sebagai Sakti atau permaisuri dari Sri Visnu, Ibu Pertiwi dipuja oleh setiap penganut ajaran Veda atau Hindu Dharma setiap hari. Di pagi hari setiap turun dari tempat tidur, sebelum menginjakkan kaki ke atas tanah/bumi para penganut ajaran Dharma mengucapkan mantra memohon izin pada Ibu Pertiwi untuk menginjakkan kaki ke atas bumi ini.
Mantra menghormat Ibu Pertiwi sebelun turun dari tempat tidur dan sebelum menyentuh Ibu Pertiwi dengan kaki: “Samudra-vasane devi parvata-stana-mandale, visnu-patnim namastubhyam pada-sparSam ksamasva me”. Bagi penulis, setiap bepergian dengan pesawat, mantram ini juga sangat membahagiakan diucapkan setiap pesawat hendak landing/mendarat. Sedangkan tradisi para bijak yang mempunyai rasa bhakti mendalam pada Ibu Pertiwi, begitu mereka menyadari kematian menjemputnya, maka mereka mengucapkan mantra-perthiwi tersebut, memohon pada Ibu Pertiwi agar membukakan pintu kedamaian abadi menuju pangkuan Ibu Pertiwi.
Bumi mempunyai jumlah nama yang sangat banyak. Bumi adalah prthivi karena bumi merupakan wadah yang menyangga kita semua, dan karena itulah bumi adalah Ibu. Leluhur nusantara memberikan nama Ibu Pertiwi untuk menyebut bumi ini, sangatlah bermakna. Tanpa bumi kita tidak bisa melihat kehidupan di dunia ini alias kita tidak ada sama sekali. Keberadaan kita hanyalah karena Ibu Pertiwi. Memuja Ibu Pertiwi bukanlah sebuah kesalahan melainkan pembersih dan “penghapus” kesalahan. Pertiwi adalah Ibu yang menyangga dan yang memelihara kita semua.
Bumi juga disebut sebagai Bhumadevi sebagai kekuatan penguasa bumi. Disebut sebagai BhuvaneSvari karena merupakan Ratu Penguasa dari bumi. Sekali lagi disebut sebagai Prthvi atau Pertiwi karena bumi menyangga seluruh makhluk di atas muka bumi ini. Disebut sebagai Vasudha karena bumi memberikan segala jenis kekayaan kepada makhluk hidup Tuhan yang hidup di atas muka bumi ini. Bumi disebut sebagai Bhudevi, atau Bhuvati, sebutan yang sama dengan Bhumadevi karena merupakan Dewi Maha Agung Penguasa Bumi. Sebutan sangat menarik yang lain lagi untuk bumi adalah Vasundhara, berarti dari mana muncul segala harta kekayaan tiada terbatas, dan nanti pada akhirnya akan kembali pula ke asalnya. Vasundhara merupakan wadah tidak terbatas untuk isi kekayaan yang tidak terbatas. Bumi adalah Vasundhara, bumi adalah sumber harta benda atau kekayaan yang tidak ada Batasnya. Sebutan lain lagi untuk bumi adalah Bhuvani, DhanSika, Ela, Dhatri, Dharti, KaSyapi, Vasumati, Vaisnavi, Avni, Dharani, Urvi, Hiranmaya, Ira, Hema, dan Mahi.
Bumi adalah Ibu. Pertiwi adalah Ibu. Ibu adalah Ibu, penghidup dan pemelihara. Dalam ajaran Veda terdapat 7 Ibu yang patut dijaga dan dihormati dengna baik oleh setiap umat (saptaita matarah smrtah). Ketujuh Ibu tersebut antara lain: atma-mata, yaitu ibu kandung sendiri; guru-patni, adalah istri dari Guru; brahmani atau para brahmana perempuan; rajapatnika, istri atau permaisuri dari Raja/Pemimpin Negara; dhenuh, bahwa sapi adalah Ibu bagi kita semua; dhatri, para wanita yang merawat atau menjaga kita, dan akhirnya prthvi, yaitu bumi.
Ada pepatah mengatakan “vir bhogya vasundhara”, berarti bahwa bumi ini dapat dinikmati hanya oleh orang-orang yang teguh dan gagah berani. Kejayaan dan kemuliaan bumi tidak untuk mereka yang pemalas, lemah jiwa, jauh dari kebesaran hati dan tidak memikirkan kebaikan serta kemuliaan yang lain. Tidak, bumi ini tidak untuk mereka yang tidak “pernah” menghadapi tantangan-tantangan hidup. Bumi ini tidak untuk para penikmat melainkan bumi dapat dinikmati hanya oleh mereka yang sudah melewati berbagai tempaan dan cobaan hidup yang tidak kecil dan tidak sedikit. Hanya seorang Vira, seorang Perwira yang “pantas” menikmati bumi dan segala kekayaan serta kemuliaannya.
Bumi memang memberikan cukup makan minum kepada orang-orang lemah. Akan tetapi, memberikan segala kekayaan dan kemuliaan kepada sang perwira, kepada orang yang gagah berani dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan hidup. Dan bumi memberikan keseluruhan dirinya kepada mereka yang mengasihinya. Inilah hal yang dilupakan oleh kita semua. Orang-orang melupakan "bagaimana" mencintai dan mengasihi Ibu Pertiwi demi mendapatkan segala kasih sayang Ibu Pertiwi.
Kemarin (11/1/2019) saya mengajak 3 orang anak kecil ikut di dalam mobil. Kami singgah ke lapangan Renon di Monumen Bajra Sandhi untuk melihat kawan-kawan yang "bertugas" alias "ngayah" di sana sehubungan dengan upacara "Nyaumya Jagat" atau "Mamahayu Hayuning Bhuwana".
Sampai di sana, kami bertemu dengan beberapa orang kawang yang sedang beristirahat di bawah pohon karena terik matahari lumayan menyengat. Sambil bercerita dan melihat perkembangan persiapan upacara, tiba-tiba mata kami tertuju pada tebaran sampah plastik yang cukup banyak di sana-sini. Ternyata sampah plastik tersebut merupakan "warisan" tak diinginkan dari ratusan umat yang kemarin ikut "ngayah melasti" ke pantai. Tentu saja hal ini merupakan pemandangan sangat menyakitkan. Pada zaman modern dimana orang-orang sudah cukup terpelajar, seharusnya sampah-sampah plastik seperti seperti ini sudah tidak ada lagi. Karena, orang-orang yang membuang sampah plastik sembarangan seperti itu hanyalah orang-orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah. Terlebih lagi jika hal itu dilakukan pada acara-acara keagamaan spiritual. Ia bukan kesalahan lagi melainkan "dosa" dan "kejahatan" dilakukan pada Ibu Pertiwi yang sangat mengasihi serta memberikan segala kemuliaan kepada kita.
Bagaimana kita melaksanakan persembahan yajna "bersama" dengan tebaran sampah plastik? Sampah-sampah seperti daun pisang dari nasi bungkus, bunga persembahan, dan lain-lain sejenis itu barangkali sampah yang masih bisa ditolerir, akan tetapi tidak untuk sampah plastik. Orang-orang terpelajar tidak akan melakukan hal itu. Orang-orang melakukan persembahan yajna tidak akan melakukan "pengotoran bumi" seperti itu.
Sambil pikin terasa sangat tertanggu, kami dengan bahasa "bermain" mengarahkan anak-anak yang masih kelas 1-3 Sekolah Dasar itu memungut sampah-sampah plastik tersebut. Anak-anak itu dengan riang melakukan "bersih-bersih plastik" sampai tidak ada sisa sama sekali. Begitu tegaknyakah kita terhadap Ibu Pertiwi Bali Pulina yang cantik indah dan sangat subur ini (nana vibrati)? Dunia ini dihuni oleh orang-orang dari berbagai komunitas dengan berbahasa sangat indah menarik (bahudha vivacasam), apakah tidak akan bertambah cantik indah menarik jika Ibu Pertiwi tidak kita kotori dengan sampah plastik?
Kita belum mengembangkan indria-indria agama spiritual (ati-indria) sehingga kita mampu menikmati rasa nikmat makanan dan minuman dan bukan rasa nikmat melihat sungai bersih tanpa sampah plastik, kecantikan dan keindahan pantai atau pun laut tanpa sampah plastik, kebersihan dan kesucian Pura Besakih, Lempuyang, dan seluruh Pura dari Pura keluarga sampai Pura Kahyangan Jagat, seharusnya sudah bebas sampah plastik (nana dharmanam prthvi). Jika Bali "tindak menginginkan" kebersihan dan kesucian Pura, paling tidak Bali harus memikirkan "wajah" Bali sebagai destinasi wisata yang terindah di dunia.
Para tokoh masyarakat, adat, agama, khususnya para pelaku wisata kini sudah waktunya merasa malu "menjual" Bali sebagai "surga wisata" dalam wajah "dipaksakan". Sebagaimana "revolusi Bhagavad-gita" memperlihatkan manfaat besar menyeluruh dalam waktu sangat singkat, demikianlah pula kini sudah saatnya memproklamirkan perang melawan plastik dalam strategi "revolusi" dan menolak "evolusi".
Oleh: Darmayasa
Source: Koran Balipost, Minggu Pon, 13 Januari 2019