Mahalnya Kedamaian: Refleksi Makna Perayaan Nyepi

Om  Swastyastu

“Agama bukanlah untuk memisahkan seseorang den‐ gan orang lain, agama bertujuan untuk menyatukan mereka.
Adalah suatu malapetaka bahwa saat ini agama telah  sedemikian  terdistorsi  sehingga menjadi penyebab  perselisihan  dan  pembantaian”
(Mahatma Gandhi, 2004:170)

Semua orang, semua bangsa di dunia bahkan semua mahluk menghendaki kehidupan yang damai, rukun tanpa konflik. Agama-agama diturunkan ke dunia untuk mewujudkan kedamaian yang sangat mulia itu.

Hari Suci Nyepi datang lagi, tahun ini berbarengan dengan hari Suci Saraswati. Umat Hindu memperingati dengan beberapa rangkaian kegiatan sosial dan spiritual, pada hakikatnya melaksanakan ajaran Tri Hita Karana, seperti yang diamanatkan dalam Bhagawad Gita III.10: Sahayajñah prajah strishtva puro vacha prajapatih, anena prasavishya dhvam esha va stv ishta kamadhuk.

Filosofi Trihita Karana (3 sumber kebahagiaan) yakni: Dialog, hubungan dengan Prajapati, Tuhan (Parahyangan), Dialog dengan sesama sebagai Praja, manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan Kamadhuk yakni alam, lingkungan (Palemahan). Jadi Nyepi mewujudkan kebahagiaan yang bersumber dari ketiga hubungan/dialog itu. Jika semua ciptaanNya atas dasar prakarsa manusia, merasakan kebahagiaan niscaya kedamaian tercipta.

Umat Hindu di Maluku dalam rangkaian Nyepi tahun 2018 di samping melakukan kegiatan ritual juga melaksanakan berbagai aksi sosial, antara lain menyelenggarakan: kerja bakti kebersihan, menanam pohon, donor darah, kegiatan Yoga, bhakti sosial dan lain sebagainya.

Rangkaian upacara Hari Suci Nyepi yang diawali dengan Upacara Melasti memiliki pesan spiritual agar manusia kembali membersihkan dan mensucikan dirinya sshingga memiliki kesiapan baik sekala dan niskala (jasmani-rohani) dalam menyongsong hari saat dimana ia harus Hening-menelisik diri. Kemudian sehari sebelum Nyepi adalah Hari Taur Agung Kasanga yang pada hakikatnya adalah untuk mendoakan, memohon keselamatan jagat, dunia beserta semua ciptaanNya. Puncak Nyepi 17 Maret 2018, libur nasional dan Ngembak Geni dan Dharma Santi melakukan simakrama dengan keluarga kerabat dan handai taulan, dan masyarakat umum.

Makna Nyepi adalah sebagai hari Keheningan dan mendoakan, menyerukan terwujudnya kedamaian, sedangkan Saraswati untuk menerima aliran Pengetahuan Suci dari Hyang Widhi, sehingga manusia Hindu dapat tumbuh menjadi pribadi yang santun, toleran, empaty dan lenyapnya segala sifat buruk dan kejahatan manusia. Dua makna hari raya ini saling berkaitan, karena kedamaian akan terwujud bila segala perilaku hidup manusia di bumi ini didasarkan pada pengetahuan suci dharma atau kebenaran hakiki.

Nyepi dan Kedamaian
Merenungkan kembali Pesan Nyepi seperti yang termaktub dalam kitab Suci Veda: “Hendaknya mereka yang memeluk agama yang berbeda-beda dan dengan mengucapkan bahasa yang berbeda-beda pula, tinggal bersama di bumi pertiwi ini, hendaknya rukun bagaikan satu keluarga, seperti halnya induk sapi yang selalu memberikan susu kepada anaknya, demikian bumi pertiwi memberikan kebahagiaan kepada umat manusia” (Atharvaveda XII.1.45).

Jadi makna dan tujuan Nyepi adalah untuk beryadnya (berkurban) mendoakan alam semesta, dunia untuk tercapai kedamaian. Pada kenyataannya kedamain itu mahal, sulit terwujud. Konflik pribadi, menimbulkan ketidakdamaian dalam diri karena pertentanganantara keinginan dan norma sosial, norma agama. Konflik rumah tangga merenggut kedamaian karena konflik kepentingan, perbedaan pendapat di antara anggota keluarga. Konflik di masyarakat dapat timbul karena perbedaan, demikian juga kehidupan suatu negara.

Kedamaian hilang karena konflik kepentingan, konflik ideologi, ketidakadilan, diskriminasi, hubungan antar kelompok, hubungan antar agama yang disharmoni. Kini banyak negara di dunia, seperti di beberapa negara di Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika, Amerika Latin dan banyak lagi di wilayah lain berkonflik bahkan perang.

Konflik karena perbedaan suku, agama, antar golongan (SARA). Konflik juga muncul dalam internal agama karena perbedaan aliran berbalut politik yang diwarnai ambisi berkuasa. Warga negara tidak damai lagi di negaranya sendiri, kini banyak yang mengungsi ke Eropa yang kebanyakan agama berbeda. Kadang saya bertanya kepada diri sendiri, kapan penganut-penganut agama-agama itu berperan menciptakan perdamaian yang sejati, baik internal agamanya maupun antar agama. Di negeri sendiri sumber konflik yang diakibatkan oleh mencuatnya isu SARA yang berbalut politik menjadi isu aktual dan potensial bahkan merambah kepada hal-hal yang multidimensional.

Di tengah merenungkan Nyepi mari saling mengingatkan bahwa kedamaian itu sejatinya ditumbuhkan dalam diri, di rumah tangga, terlebih dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Empat pilar kehidupan berbangsa, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal IKa, dan NKRI tidak perlu disangsikan lagi karena mampu mengelola pluralisme, mereduksi fanatisme, dan radikalisme.

Selain rangkaian hari raya Nyepi yang telah dikemukakan, kegiatan spiritual kerohanian pada puncak hari Nyepi; Sabtu, 17 Maret 2018 adalah Catur Berata Penyepian yakni: Amati karya, tidak melakukan aktivitas/kerja. Amati lelanguan, mengendalikan emosi, tidak menyelenggarakan hiburan, pesta pora. Amati geni, tidak menyalakan api/lampu. Amati lelungan, tidak melaksanakn berpergian ke luar rumah.

Sehari setelah Nyepi yakni pada Minggu 18 Maret 2018. Keesokan harinya dikenal sebagai hari Ngembak Geni, aktivitas kehidupan mulai dilakukan, pada hari ini juga dilakukan Simakrama; saling bersalaman meminta maaf dan memaafkan, saling berkunjung mengucapkan rasa terimakasih. Semua kegiatan dan pernak-pernik Nyepi diliputi suasana Bhakti adalah dalam usaha umat Hindu memancarkan Kebenaran (Sathyam), Kesucian dan Keheningan (Sivam), dan Keindahan (Sundaram). Melalui pelbagai ritual dan spiritual memerangi kejahatan dan nafsu angkara murka manusia merupakan cara yang hakiki mewujudkan kedamaian.

Bahkan Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan dan tokoh yang menentang apartheid menyerukan: "Mengubah dendam menjadi pengampunan, kebencian menjadi persahatan, kecurigaan menjadi kepercayaan, perbedaan menjadi kekayaan hidup bersama".

Bahkan Bung Karno, dalam percakapan dengan RM P. Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini) mengatakan, "Saya melawan politik Belanda, tetapi seni memerintahkan saya untuk tidak membeci orang Belanda" (Agus Dermawan T, Kompas, 30 Nov. 2016). Dalam rangka refleksi Nyepi, biarlah dialog kita sesuai ajaran Tri Hita Karana ikut mewujudkan Santih Lan Jagadhita (damai dan sejahtera dibumi) agar kedamaian tidak menjadi barang mahal.

Manggalamastu.
Om Santih Santih Santih Om
Ambon, 07 April 2018

Oleh: I Wayan Sudarma, S.Ag., M.Si (Jero Mangku Danu)
Ketua Bidang Kebudayaan dan Kearifan Lokal Pengurus Harian PHDI Pusat