Kala

Waktu sangatlah singkat sekadi kedaping tatit, dalam sedetikpun Hyang Widhi tidak bekerja dunia akan hancur. Dimensi waktu ala ayuning dewasa (baik dan buruk). Dalam lingkar waktu umat Hindu selalu disertai dengan doa dan ritus, galang kangin, tajeg surya sandi kala. Preusz menyatakan bahwa ritus atas waktu merupakan dorongan mistikal untuk berbakti pada kekuatan tertinggi yang tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan alam, pergantian musim, kedahsyatan alam, dan masalah hidup dan maut. Waktu kerap kali di sertai dengan ritus menurut Van Gennep dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: 1) Perpisahan (separation); 2) Peralihan (merge); 3) integrasi kembali (agregation). Kehidupan manusia selalu dalam cengkraman waktu, karena waktulah yang sesungguhnya mengadakan, memelihara, dan membinasakan, segala sesuatu yang diikat oleh waktu. Ada, mengada, tiada tergantung pada waktu, sifat-sifat keagungan dan kedasyatan dalam ruang dan waktu yang tak terbatas itulah menundukan manusia untuk menginsyafi kekecilannya di alam semesta.

Waktu di pandang menyeramkan, menakutkan, siap memporak-porandakan kehidupan manusia sehingga di wujudkan sebagai Bhatara Kala merupakan tokoh utama yang digambarkan dengan wajah dan karakter yang demikian seram "kadi trap nin raksasa warna nira (wajahnya seperti raksasa) dan lahir pada saat senjahari 'sandhya wela' (pertemuan waktu antara siang dan malam). Sosok Bhatara Kala selalu berkaitan dengan waktu, seperti halnya apa-apa yang boleh menjadi mangsanya, dalam Kala Purana disuratkan bahwa beliau boleh memangsa orang-orang yang melakukan aktifitas pada saat pertemuan dua waktu (sandhi kala). Bhatara Kala tiada lain adalah aspek dari Hyang Widhi sebagai penguasa waktu, hal ini diperkuat dengan arti nama beliau sendiri.

Menurut Westa, secara leksikal kala berarti waktu, melihat dari arti leksikal tersebut maka pantaskah Sang Kala mendapatkan personifikasi sebagai penguasa atas waktu, karena ia merupakan ‘sang waktu’ itu sendiri. Sebagai penguasa waktu, ia juga identik dengan penguasa atas kematian sehingga disebut “Yama Raja”. Sebagai penguasa kematian kala sering digambarkan seperti api yang memusnahkan, sehingga beliau sering pula disebut Kalagni, sebutan ini mengisyaratkan kedahsyatan api waktu.

Dalam sistem ala ayuning dewasa, kala memberikan petunjuk tindakan umat Hindu, sebut saja kala mritiyu tidak baik melakukan sarwa yadnya, kala gotongan, tidak baik melakukan upacara ngaben, kala guru dewasa ayu peraturan dana awig-awig, kala suwung tidak baik untuk dewasa ayu, berkunjung dan menghadap dan tentunya masih banyak kala. Kemudian Sastra luhur Teks Kala Purana menyuratkan kewenangan Bhatara Kala memangsa orang-orang yang melakukan aktifitas pada saat pertemuan waktu (sandi kala), namun saat ini sangat tepat melakukan Puja Tri Sandhya, japa mantra, yoga. Kemudian Bhatara Kala juga mengeluarkan kutukan, tidak boleh merendam dua ikat ilalang menjadi satuikatan, tidak boleh meletakkan kayu bakar yang masih terikat di bawah lumbung padi, tidak boleh meletakkan kayu api dalam perapian tempat masak apabila tidak digunakan. Hal ini sebagai petanda bahwa umat Hindu harus waspada (yatna) atas waktu.

Waktu juga indah sebagaimana tarian kosmis alam semesta, matahari, bulan, planet-planet dan bintang-bintang sebagai badan-badan angkasa beredar harmoni pada yang melanggar rta membawa keguncangan, kerusakan, ketidaknyamanan dan menyelaraskan diri padanya membawa ketentraman, kenikmatan, dan sebagainya. Mengenai rta telah dinyatakan dalam Rgveda begini disebutkan “madhu vata rtayate, madhu ksaranti sindhvah, madhvir nah sarvosadhih, Madhu naktamutesaso, Madhumat parthvivan rajah, Madhu dyam astu nak pita” untuk dia yang hidup menuruti rta, angin akan penuh rasa manis, sungai mencerahkan rasa manis, begitu pula pohon-pohonan penuh rasa manis untuk kita, malam terasa manis begitu pula fajar, debu bumipun manis, manislah bapa langit bagi kita”. Keindahan waktu menjadi dambaan, sebagaimana Sang Hyang Panca Kumara digambarkan dengan wajah yang sangat tampan ‘Apekik warna nira’ dan dilahirkan pada saat fajar ‘prabhatta’ (pertemuan waktu antara malam dan pagi hari), selalu di incar oleh Bhatara Kala. Indahnya waktu itu akan terjadi ketika bisa menjadi pengembala atas sepuluh indriya.

Pengembala itu adalah pikiran sebagai rajanya indriya, Manawadharmasastra II. 92, "Ekasadam mano jneyam swagunenobhyatmakam," artinya alat yang kesebelas adalah pikiran. Sorga dan nerakanya waktu berawal dari pikiran. “Ikang citta hetu nikang atman pamukti swarga, citta hetu ning atma tibeng naraka, citta hetu nimittanya pangdadi tiryak, citta hetunya pangjanma manusa, citta hetunya n pamanggihaken kamoksan mwang kalepasan, nimittanya nihan” artinya ketenangan, surga dan neraka, semua ini dihasilkan oleh kekuatan pikiran yang penuh dosa. Pikiran(citta) yang menyebabkan atman menikmati moksa. Pikiran pula yang menyebabkan atman masuk neraka. Pikiran yang menyebabkan lahir sebagai manusia, pikiran yang menyebabkan mencapai moksa dan pembebasan (Wrhspatitattwa, 34).

Lingkar indah dan buruknya waktu menjadi nota bena bahwa umat Hindu harus jaya atas waktu (jaya kala) untuk bisa jaya kala maka dharma yang patut dikerjakan (gaweyenkwa tikang dharmasadhana). Manusia di kuasai oleh waktu, tunduk pada waktu dalam ruang waktu itu manusia mengalami suka, duka, lara, pati oleh karenanya jalan kelepasan atas waktu adalah bebas dalam keterikatan. Sarasamuscaya 390an mangkana purih niking jadma, kinawasakening kala, sangsara swabhawanya, haywa ta pramada, pahahening ikang buddhi, heneban, wehen rumegepang moksamarga" bahwa keadaannya menjadi manusia dikuasai oleh waktu, dan biasanya menderita, berhubung dengan itu janganlah alpa, sucikanlah budi anda, tentramkan, berilah kesempatan untuk bermeditasi mencapai jalan kebebasan.

Oleh: I Nyoman Dayuh
Source: Majalah Wartam, Edisi 31, Oktober 2017