Jika hal-hal di atas bisa diaplikasikan, maka kesan hura-hura, kesan pesta pora, atau kesan mewah-mewahan bisa ditangkis. Karena pada saat Galungan, tujuan utamanya bukan itu. Juga segala perilaku-perilaku buruk (papa karma) sedapatnya harus dikendalikan. Tidak ada saat perayaan Galungan, bahwa umat lupa datang ke, merajan,sanggah, kamulan, taksu, kawitan, khayangan desa, khayangan jagat dan sejenisnya. Melakukan perjalanan suci (yatra) ke tempat-tempat sucilah yang dilakukan pada saat itu. Karena tempat itu adalah tempat suci. Tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pada tempat suci itulah sebagai tempat umat untuk mengheningkan pikiran sejenak. Sambil mencakupkan kedua tangan (kara kalh) menyatakan rasa bhakti yang tulus, menyatakan rasa terimakasih (parama siuksma) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Juga mengucilkan rasa permohonan (puja) personal maupun komunal kepada Tuhan Yang maha Esa. Saat Galungan dengan mengambil tempat di tempat suci itulah umat melakukan hubungan atau kontak (yoga), juga melakukan pengekangan diri (tapa), melakukan pengemblengan terhadap perkataan (mauna), memusat¬kan pikiran yang suci lahir dan bhatin (saucam), serta melakaukan penyatuan sabda, bayu, dan idep (samadhi).
Bagaimana filosofi Galungan? Pada saat Galungan (Budha kliwon Dungulan) umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta semua manifestasi Beliau (Prabhwa Siva), Juga Bhatara-Bhatari, Deva-Devi serta pitara dan pitari yang suci. Karena Beliaulah yang menuntun kita sekalian. Beliau pula memberikan jalan dharma itu. Saat Galungan suguhan sesajen atau upakara sesuai yang telah ditentukan. Persembahan tumpeng, banten kurenan ,punjung, penyeneng, rayunan, gebogan, dan lainnya merupakan wujud rasa bhakti umat Hindu menuju kesempurnaan yang sejati.
Simbol-simbol upakara yang dibuat umat Hindu adalah sebagai laksana untuk mengagungkan dan memuliakan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Banten penyeneng sebagai simbul lingga. Tuhan Yang Maha Esa dalam pandangan Hindu yang disimbulkan dengan lingga. Pada banten penyeneng itulah bersthana. Banten kurenan sebagai simbul penyatuan perilaku semua anggota keluarga untuk memuliakan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Gebogan sebagai simbul anugrah yang melimpah, hasil persembahan yang mencukupi serta memperoleh banyak rejeki.
Rayunan sebagai wujud rasa bhakti sedharma mempersembahkan bhoga sebagai sember amertha (sumber kehidupan). Punjung sebagai rasa kekerabatan dan kedekatan umat Hindu terhadap semua manofestasi Tuhan Yang Maha Esa, maka setiap tempat suci, ya pelangkiran, bebaturan, padmasari, tugu, pengayengan. kemulan, pesucian dan pelinggih lainnya disuguhi banten pujung, sebagai wujud bahwa umat Hindu telah hadir ke berbagai sthana Beliau untuk meyampaikan bhaktinya dan doanya. Memasang penjor Galungan di lebuh, adalah sebagai wujud serta bentuk umat Hindu dalam menegakkan kebenaran yang sejati. Hanya kebenaran yang unggul.
Kebenaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang abadi. Kebenaran dari Sang Hyang Pencita sebagai kebenaran yang utama. Maka sebagai perlengkapan penjor itu berisi berupa isi alam yang melimpah, oleh karena penjor Galungan juga simbul alam semesta ini. Umat Hindu berterimakasih melalui sarana yang diperoleh di alam (bhvana agung) ini. Berisi phala gantung, phala bungkah, wastra putih kuning, kelapa dan lain-lainya, merupakan simbol isi alam dari akasa atau angkasa, wastra putih sebagai simbol persembahan yang tulus, suci, iklas, dan hening kepada Tuhan Yang Maha Esa yang meraga niskala.
Selanjutnya bahwa makna filosofi dari perayaan Galungan seperti berikut ini.
1. Sebagai ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widi Wasa beserta dengan semua manifestasi beliau yang dilakukan pada puncak upacara Galungan yaitu saat Budha Kliwon Dungulan.
2. Secara filosofi bahwa Galungan bermakna sebagai kemenagan antara dharma/kebenaran melawan adharma/ ketidak benaran, tegaknya satya atau kebenaran atas kecurangan, kebodohan, kekejaman, kekerasan (astya), dan sejenis dengan itu yang ditandai dengan pelaksanaan tapa, brata, yoga, semadhi yang telah menundukkan sang bhuta tiga. Bagi umat Hindu juga ditandai^dengan menancapkan Penjor Galunan (simbol giri/gunung) pada saat Angara Wage Dungulan (setelah menghaturkan banten penampahan galungan).
Sarana penjor Galungan atara lain: phala bungkah (umbi-umbian), phala gantung (kelapa, buah dan lainya), phala wija (jagung, padi dll), juga diisi jajan, uang sebelas kepeng, sampian penjor, lengkap dengan porosan (sirih, kapur, pinang), bunga serta sanggah penjor. Penjor Galungan dicabut pada Redite Umais Langkir atau Budi Kliwon Pahang, penjor Galungan juga simbol Sang Hyang Giripati.
3. Secara mitologi bahwa Galungan merupakan tanda kebenaran dari Bhatara Indra kepada Mayadenawa (sesuai pustaka Usana Bali), juga pewarah-warah Bhatari Durgha kepada Sri Jayakusuma (sesuaL pustaka Jayakasanu), Dalam tradisi India perayaan Galungan memiliki makna yang sama dengan perayaan Sraddha Wijaya dasami atau perayaan Durgha Puja.
Makna Teologi Galungan
Perayaan Galungan oleh umat Hindu di Indonesia adalah berdasarkan pawukon perhitungan antara sistem wewaran terutama panca wara (lima hari : Umanis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) dengan sapta wara (tujuh hari : Redite, Soma, Anggara, Budha, Wraspati, Sukra, Saniscara,) dengan sistem wuku (yang jumlahnya tiga puluh wuku sesuai sistem kalender Hindu, dari wuku sinta sampai wuku Watugunung). Dengan demikian bahwa perayaan Galungan oleh umat Hindu dirayakan setiap enam bulan sekali setiap Budha Kliwon Dungulan atau setiap dua ratus sepuluh hari (210) sekali. Kata Dungulan sama maknanya dengan kata Galungan.
Memperhatikan rangkaian (eed) dari perayaan Galungan. Paling tidak dimulai sejak wuku Wariga sebagai awal persiapan perayaan Galungan dan sampai pada wuku Pahang sebagai batas akhir perayaan Galungan. Menurut I Nyoman Dayuh (2003:32) bahwa persiapan perayaan hari raya Galungan dimulai sejak Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari tersebut umat memohon kehadapan Sang Hyang Sangkara, dewanya tumbuh-tumbuhan, agar Beliau menganugrahkan supaya hasil pertanian meningkat.
Ki Nirdon (1987:31) bahwa pada Senin Pahing Warigadean persembahan dihaturkan kepada Bhatara Brahma dan Ibu Pertiwi. Sugihan Jawa dan Sugihan Bali yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang dan Jumat Kliwon Sungsang pada prinsipnya adalah hari penyucian diri. Oleh karenanya ciri khas hari ini adalah dibuatnya upacara untuk memohon tirtha gocara dan tirtha pengelukatan. Memahami makna Sugihan dari kata sugi (masugi) artinya bersih atau pembersihan diri melalui tirtha (air suci) bahwa yang dimuliakan adalah dewanya air yakni Dewa Wisnu sebagai pemelihara (sthiti) umat dan alam semesta beserta segala isinya agar tetap suci dan rahayu secara lahir dan batin.
Menurut Anatta Gotama (2001:42) bahwa sesimbing (peringatan dalam bentuk sindiran), perlambang, simbol-simbol spiritual religius beliau kemas dalam seni, upakara dan upacara, merupakan cara umum yang beliau gunakan untuk memberi piteket (peringatan). Hari penampahan Galungan, sehari sebelum Galungan, adalah hari terkait erat dengan pengingatan ini. Pada hari inilah dilakukan abhyakala serta di halaman rumah sebagai pelabang agar terhingdar dari dangal Sang Kala Tiga : kala Dungulan, kala Amangkurat, kala Galungan. Kuat dugaan saya bahwa perancang ritus ini mengharapkan agar para penerusnya dapat menikmati benderangnya mentari Tri Kala Jnana pada hari Galungan. Semoga kita semua memetik manfaat dari peringatan unik para pendahulu dari leluhur kita semua.
Dengan menyimak paparan di atas, baha wujud (murti) Bhatara Siwa dalah berupa bhuta kala. Dalam peringatan galungan bahwa beliau berwujud Tri Kala Galungan yang memberikan ujian kepada umat manusia, terutama dimulai pada Reditte pahing Dungulam, Soma pon Dungulan dan Anggara Wage Dimgulan dengan wujud Beliau berupa Bhuta Dungulan, Bhuta Amagkurat, dan Bhuta Galungan, maka umat manusia telah diuji atau digoda perilakunya yang rajas dan yang tamak. Mampukah memenangkan sifat sattwam atau nindihin hyang Dharma yang tiada lain adalah wujud bhakti kehadapan Bhatara Siwa.
Kemudian menurut Made Suyasa (2003:36-370) bahwa Galungan yang jatuh tiap-tiap Budha Kliwon Dungulan dimana hari Rabu/Budha merupakan hari suci (bintang) dengan Brihaspati (Yupiter) serta dikuasai oleh Kliwon merupakan hari samadhinya Bhatara Siwa. Pada Redite Pahing Dungulan disebut hari penyekeban, hari ini secara harfifah diartikan sebagai hari untuk menyimpan buah-buahan serta tape agar masak pada hari Galungan. Namun secara tattwa agama pada hari in turunnya Sang Hyang Tiga Wisesa dalam wujud Sang Kala Tiga turun kedunia menganggu manusia. Pada hari Redite ini yang turun adalah Sang Kala Dungulan. (Selanjutnya)
Oleh: I Ketut Subagiasta
Source: Warta Hindu Dharma NO. 526 Oktober 2010