Ada tiga kata dalam khazanah bahasa Bali yang satu sama lain serangkai pengejawantahannya, yaitu bisa, nawang, dadi. Bisa, artinya ‘mampu' (berbuat sesuatu), nawang artinya 'tahu’ (uning/wikan) tentang sesuatu, dan dadi artinya “boleh” (melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan bisa karena mampu berbuat atau melakukan sesuatu yang bisa dikerjakan. Sementara itu, disebut nawang, menunjuk pada pengetahuan yang diketahui atau dikuasai. Sedangkan dikatakan dadi, ketika seseorang sudah boleh melakukan apa yang semestinya dikerjakan, setelah yang bersangkutan dianggap bisa dan nawang.
Persoalannya, meskipun kata bisa, nawang, dan dadi mesti serangkai, tetapi dalam praktiknya tidak selalu sejalan. Ada seseorang, sebenarnya sudah bisa, tetapi belum tentu nawang atau tahu tentang kemampuan yang dimilikinya. Boleh jadi karena bakat, turunan, atau dalam konteks baliqui masuk katagori “ketakson” (sudah berisi). Karena sudah bisa inilah yang bersangkutan dianggap dadi melakukan apa yang sudah menjadi kemampuannya (kebisan). Lain lagi cerita, ada seseorang yang sudah nawang, tetapi tidak bisa mempraktikannya, sehingga tidak boleh (sing dadi) melakukannya. Lebih aneh bin soleh plus nyeleneh lagi, sudah sing bisa, sing nawang, tetapi merasa dadi, tepatnya nadiang raga melakukan sesuatu.
Inilah yang lumrah disebut misa-misa alias misang-misang raga/awak/dewek/iba (membisa-bisakan diri sendiri) melakukan sesuatu tanpa didasari kemampuan (kebisan) dan pengetahuan (nawang) terhadap tipe orang seperti ini sering kali disebut nuweg-nuweg (meduwegan gen), alias sok pintar, sok tahu, atau sok bisa, terkadang disebut juga keririhan.
Jika filosofi kearifan, mengajarkan sikap eda ngaden awak bisa (jangan merasa bisa), sementara yang satu ini, meskipun tidak bisa, tetap saja menunjukkan diri dengan gaya kaden awak bisa (menganggap diri bisa). Padahal sebenarnya sama sekali tidak bisa alias belog. Kalau ada orang pintar tetapi bersikap seolah-olah tidak bisa biasanya disebut memelog, alias pura-pura bodoh, bisa jadi menunjukkan sikap rendah hati, seperti ilmu padi semakin bisa atau pintar kian merendahkan hati, alias tidak sombong. Beda halnya dengan istilah melog-melog, seseorang yang karena bisa, nawang dan dadi, tetapi justru digunakan membodohi orang lain, antara lain untuk tujuan ‘mengerjai’ (ngencanin), atau bahkan hendak mengambil keuntungan dari ketidaktahuan atau kebodohan orang lain. Lain lagi dengan sebutan belog megandong, adalah untuk menggambarkan seseorang yang kelewat bodoh, sehingga seringkali dijadikan objek olok-olokan orang lain.
Kembali ke soal misa-misa atau misang-misang raga, di zaman Kali now seperti sekarang ini, tidak sedikit ditemukan keberadaannya di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan tidak sekedar misang-misang raga, merasa diri paling bisa, pintar, duweg, ririh, dadi, tetapi lebih dari itu, merasa paling kuasa, kaya, hebat, jago, kuat, sosial, humanis, nasionalis, agamais, religius, spiritual, dan seterusnya.
Namanya saja misang-misang, berarti sebenarnya tidak begitu keadaannya alias nungkalik, berbalik antara pernyataan dengan kenyataan, menjadi seperti atau seolah-olah. Disadari memang, cukup sulit mencari orang yang sebenarnya memang benar-benar begitu adanya (seken/seken-seken/saja-saja) bisa, nawang, dan dadi.
Terjadilah apa yang disebut serba guyu, atau guyu-guyu (tidak sungguh-sungguh) keadaan dan kenyataannya. Akhirnya semua menjadi saru-gremeng, mana yang harus digugu dan ditiru, karena bisa saja menipu, sehingga tertipu oleh sikap dan perilaku misang-misang raga itu. Contoh, tidak sedikit orang, sebenarnya tidak memiliki kualitas, kapasitas, inteletualitas dan profesionalitas sebagai pemimpin, ternyata bisa dan dadi pemimpin, lantaran dalam ajang pesta demokrasi yang dipersyaratkan hanya perolehan suara dalam jumlah tertentu, bukan karena bisa, nawang lalu dadi. Pada zaman dimana demokrasi berbasis pada suara angka (terbanyak) dan bukan berdasar suara dharma (kebenaran), yang acapkali unggul bukan sosok yang bisa, nawang baru dadi, tetapi justru figur-figur yang sebenarnya hanya bisa karena misa-misa alias misang-misang raga.
Jangan heran, pada era kompetisi dalam ajang pesta demokrasi seperti sekarang ini, banyak orang dengan bangganya unjuk gigi, berlomba-lomba mengajukan diri agar terpilih sebagai pemimpin. Diantaranya kemudian, muncullah pemimpin-pemimpin yang berasal dari sosok yang hanya seolah-olah bisa, nawang kemudian beruntung dadi. Bisa meraup suara dalam jumlah tertentu untuk memenuhi syarat perolehan kursi, lalu nawang strategi, sehingga dadi atau menjadilah yang bersangkutan pemimpin. Meski pada kenyataannya bukan karakter seorang pemimpin yang ditunjukkan, melainkan sifat atau watak tokoh “pemimpi" (tidak peduli dengan kenyataan yang disuarakan masyarakat), atau pemempen (apa ada pempen), dengan semangat mengutamakan hasrat memperkaya diri), dan bisa juga selaku pemumpun, mengaduk aduk suasana kondusif menjadi panas, misalnya dengan menebar hoax bermuatan isu sara dengan cara-cara provokatif, intimidatif dan agitatif.
Di tahun politik kali ini, suasana, nuansa dan aroma seperti dikatakan di atas sudah mulai tercium bahkan kian menghangat sekaligus menyengat, menampilkan orang-orang yang katanya tokoh, tetapi belum atau malah sama sekali tidak menunjukkan figur keteladanannya. Demi untuk kepentingan mendapatkan simpati sebagai investasi suara di ajang pilkada, pileg dan pilperes nanti, berbagai cara dilakukan atau dihalalkan. Hal ini sejalan dengan konsep kepemimpinan absolutisme Machiavelli, bahwa “tujuan itu menghalalkan segala cara”, yang dipentingkan bukan apa caranya tetapi bagaimana bisa mencapai tujuan itu, dengan prinsip “tujuan itu mensucikan segala tindakan”.
Kalau sudah begitu pola, model, strategi, taktik dan intrik calon pemimpin, tak heran gaya bisa dengan cara misa-misa atau misang-misang raga ini menjadi karakter yang akan semakin menyeruak dan marak. Berharap pemimpin misang-misang raga ini bisa membuat masyarakat hidup sejahtera, adil dan makmur sepertinya akan menjadi cerita 1001 malam, hanya mimpi, ilusi dan berhalusinasi. Menghindari kenyataan pahit itu terjadi dan dialami, kitab Atharwa Weda, 3.4.2 memberikan petunjuk: “bilamana seorang pemimpin dalam sebuah negara selalu mengikuti kebenaran (dharma), serta bisa mencukupi kebutuhan rakyatnya, maka semua orang bijaksana dan tokoh masyarakat akan mengikuti dan menyebarkan dharma kepada masyarakat luas”.
Sekarang, terpulang pada masyarakat, hendak memilih pemimpin yang bisa ulian misa-misa alias misang-misang raga atau memang bisa karena memiliki kebisan, nawang sehingga dadi pemimpin ?. pertimbangannya, mendengar suara waduk (perut) ulian seduk (lapar) atau suara sesuduk yang berdasar unduk (kepatutan/kebenaran)!.
Oleh: IGK Widana
Source: Majalah Wartam Edisi 39, Mei 2018