Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa

BHINNEKA TUNGGAL IKA TAN HAWA DHARMA MANGRWA
Sebuah Konsep yang Dirimuskan di Zaman Majapahit Abad Ke- 14 M

Dapatlah kiranya diajukan suatu perkiraan, bahwa negara kerajaan Majapahit dahulu dapat berkembang menjadi besar karena munculnya kemampuan kreatif pada warga negaranya. Daya cipta yang produktif itu mestinya terdapat di semua lapisan masyarakat. Daya cipta ini memang masih perlu mendapat pengujian dari berbagai arah. Apa yang hendak dikemukakan dalam tulisam ini adalah suatu contoh dari hasil kreativitas orang Majapahit, khususnya dalam menjawab tantangan kehidupan di bidang keagamaan.

GAMBAR GARUDA DAN LAMBANG LEMHANAS

Ungkapan bheneka tunggal ika merupakan rumusan dari suatu konsep keagamaan baru yang muncul dari salah seorang cendekiawan keagamaan zaman Majapahit. Mpu Tantular. Ungkapan itu terdapat di dalam salah satu kakawin yang diciptakannya, yang berjudul Purudasanta, atau lebih dkenal dengan nama Sutasoma. Masalah keagamaan yang rupanya tetap dirasakan aktual pada zaman Majapahit adalah hubungan antara agama Hindu Saiwa dan agama Buddha Mahayana.

Sejak masa kerajaan-kerajaan kuna di Jawa Tengah (abad VIII-X M) kedua agama itu telah hidup berdampingan. Namun, pada waktu itu masih jelas tampak bahwa kedua agama itu terpisah satu dari yang lain. Masing-masing agama mempunyai candi-candi yang berbeda dan terpisah, masing-masing mempunyai arca-arca pemujaan yang dapat diperbedakan dengan jelas satu sama lain. Hanyalah prasasti Kelurak, yang ditulis tahun 782 Masehi satu-satunya yang memberikan ungkapan penyamaan antara suatu konsep kebenaran agama Buddha dengan konsep kebenaran agama Siwa. Penyamaan seperti inilah yang kita dapatkan dalam rumusan lebih tegas dalam kakawin Sutasoma dari zaman Majapahit, enam abad kemudian.

Untuk dapat membandingkan keduanya, maka berikut ini akan diberikan cuplikan dari masing-masing teks, yaitu dari prasasti Kelurak dan dari kakawin Sutasoma, yang berkenaan dengan masalah keterkaitan antara agama Hindu Saiwa dan Buddha Mahayana, Pertama, akan disajikan bait 13,14 dan 15 dari prasasti Klurak. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan dikeluarkan dalam rangka pendirian suatu bangunan suci agama Buddha, khusunya untuk pemujaan Manjusri salah satu perwujudan kebuddhaan tertinggi. Teks tersebut adalah sebagai berikut:

13. kirttistambho'yam atulo dharmastur anuttarah raksarthamsarvasatvanam mamjusripraptikrtih
14. citra buddbasca dharmtnasca sanghacantargatah sthitah drstavyo drsyaranesmin smaramti-nisudane
15. ayam sa vajradhrk sriman brahma visnumahesvarah sarvadevamayah svami majuvag itugiyate (Santoso, 1975:125).

Terjemahan bait-bait tersebut adalah :

13. (bangunan) penguat kejayaan, yang tiada bandingnya ini, adalah jembatan yang kokoh menuju Dharma (ajaran yang benar) dilengkapi arca Manjusri demi pemeliharaan segenap mahluk.
14. di situlah, terletak di dalamnya, berdiri baik Buddha, dharma, maupun Sangha hendaknya dipandang, di (bangunan) itu yang merupakan permata yang indah, penakluk segala kenikmatan duniawi
15. ia itu yang membawa wajra dan bercahaya (adalah) Brahma, Wisnu, maupun Maheswara (ia adalah) junjungan yang memperlihatkan diri sebagai segala dewa, (ia) dipuja dalam nyanyian sebagai Manjuwag)

Kutipan prasasti Kelurak ini menunjukkan beberapa fakta sebagai berikut:

1) bahwa dewa-dewa tertinggi agama Hindu, yaitu Trimurti yang terdiri dari Brahma, Wisnu dan Siwa, disebutkan dalam rangka memaparkan keagungan bangunan suci dan arca agama Buddha.
2) bahwa kebudhaan tertinggi dalam hal ini dikatakan berebut Manjusri dan Manjuwag.
3) bahwa bangunan untuk menempatkan arca Manjusri disebut kirtistambha, yang dapat berarti "tiang untuk memperingati atau menunjukkan kejayaan" atau "sesuatu yang memperkokoh atau menopang kejayaan".
4) bahwa bangunan suci dengan arca Manjusri itu nerupakan jembatan (belaka) menuju (pemahaman dan penghayatan) kebenaran menurut ajaran agama Buddha.
5) bahwa kebudayaan tertinggi menaklukan segala kenikmatan duniawi.
6) bahwa Manjusri bertanda wajra, yaitu penggambaran kilat atau permata yang paling keras.
7) bahwa kebuddhaan tertinggi Manjusri itu dapat mengambil bentuk segala dewata, termasuk Brahma, Wisnu dan Siwa.
8) bahwa dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa pemujaan kepada Brahma-Wisnu-Siwa hanyalah titik awal untuk menuju ke pengertian mengenai Manjusri dan lebih lanjut daripada itu ke pemahaman mengenai ajaran yang benar (dharma)

Dari fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa prasasti Kelurak sangat tegas menyatakan persefektif agama Buddha, dimana ajaran agama ini sudah tentu dianggap sebagai yang tertinggi. Prasasti ini dikeluarkan oleh raja dari dinasti Sailendra yang berkuasa pada waktu itu, yang dari peninggalan-peninggalan lain diketahui sangat banyak berbuat untuk membangun kebesaran agama Buddha yang mereka anut. Candi-candi besar yang mereka bangun di kawasan Jawa Tengah sekarang, yang masih dapat diketahui hingga kini adalah Kalasan, Borobudur, Mendut, Pawon, Plaosan Lor, dan Plaosan Kidul. Candi-candi agama Buddha yang lain, yang tidak didampingi oleh keterangan tertulis, seperti Ngawen, Sari, Sajiwan dan lain-lain mungkin merupakan hasil upaya dinasti ini pula.

Fakta lain yang diketahui mengenai masa itu adalah bahwa sebelum pendirian candi-candi agama Buddha itu di Jawa Tengah telah terdapat agama Hindu Saiwa lengkap dengan candi dan arcanya, yang tersebar dalam wilayah yang luas meliputi seluruh Jawa Tengah bagian Utara dan daerah Kedu. Hal ini berarti bahwa penganut agama Hindu cukup meluas. Maka, ketika agama Buddha dikemukakan dan hendak dimajukan, mungkin dalam rangka merebut juga perhatian para pemeluk agama Hindu, perlu diadakan refrensi ke agama Hindu yang telah lebih dahulu dikenal dalam masyarakat. Dewa-Dewa Trimurti dari agama Hindu perlu dengan demikian "didudukkan" secara baru dalam sistem kepercayaan agama Buddha.

Selanjutnya, baiklah kita simak cuplikan dari kakawin Sutasoma, khusus yang menyentuh pemadanan kedewataan Hindu dan Buddha. Kakawin ini berbahasa Jawa kuna, ditulis pada masa kejayaan kerajaan Majapahit, di bawah pemerintah raja Rajasanagara pada paruh kedua abad XIV Masehi. Pengarangnya, Mpu Tantular, pada pupuh CXLVII (terakhir) bait 1 jelas-jelas mengatakan bahwa karyanya itu adalah sebuah Boddha-carita (cerita yang bersifat Bauddha). Bait-bait yang mengandung di dalamnya ungkapan bhinneka tunggal ika terdapat di dalam pupuh (bab) CXXXIX, yang berbunyi sebagai berikut:

4. yadyan sahasra yuga takwa dhiranta ring rat dhiroddhattangalahala prabhu Hastinedra duran zuenangta juga pan ratu buddhajanma hyang Buddha tan pahi lawan Siwa rajadeiva
5. rwaneka dhatu luhnazous wara Buddha Wiswa bhinneki rakwa ring apan kepanuioanosen mangkang Jinatzua kalawan Siwatattzua tunggal bhinneka tunggal ika tari hana dharma mangrwa
6. Aksobhya tatwa kita ng Iswara dewa dibya hyang Ratnasambbawa sireki bhatara Datta sang hyang Mahamara siratam ikamitha ba sryamogasiddhi
7. ndah kantentanya kaharekwi bhatara mangke somyarihatutura ring Sizuabbhudatatzua ndah yeka tinggalaknang tahu ghorarupa tan ghora hetu nikanang Sutasoma Carzua (Sutasoma, 1975: 579; sebagian dibandingkan dengan Kerm dalam Korn & Rassers, 1982;26)

Bait-bait tersebut menceritakan kata-kata para dewa yang sambil ketakutan membujuk dan memohon kepada dewa Rudra (Siwa) yang masuk ke dalam tubuh Purusada, dengan kemarahan yang menggemparkan hendak melawan raja Hastina, yaitu Sutasoma, perbedaan dari kebudhaan. Terjemahan dari bait-bait tersebut adalah:

4. Meskipun engakau berada teguh di dunia selama konon seribu yuga (zaman besar) dengan berani dan congkak (engkau) menyerang keras raja; raja Hastina jauh panggang dari api engkau akan dapat melakukannya, karena raja itu penjelmaan Buddha; Hyang Buddha tak beda dengan Siwa raja dewa.

5. Dikatakan bahwa (mereka) yang terpilih, Buddha dan Wiswa (= Siwa), merupakan dua elemen dasar, tidak tunggal terpisah itu konon karena dapat segera dibagi dua (padahal) dalam pada itu ke-jiwa-an (=kebuddhaan) dan kebenaran Siwa itu tunggal itu terpisah (tetapi juga) tunggal, tak ada kebenaran yang mendua.

6. kebenaran Aksobhya adalah engkau, dewa Iswara yang luhur, (adapun) ia Hyang Ratnasambhawa, adalah betara Sang Hyang Mahamara; ia, yang mulia Amoghasidhi, adalah Wisnu yang mau berwenang (memerintah).

7. Maka semoga kini menjadi jelas permohonan saya kepada tuan, (wahai) betara, hendaknya engkau segera kembali kepada kenyataan Siwa-Buddha yang halus (dan) penuh kasih: tinggakanlah segera tubuh yang bebentuk mengerikan (iti) karena bukan dengan kekerasanlah Sutasoma dapat dipersembahkan sebagai korban.

Dalam bait-bait ini terungkap bahwa Dewa Siwa disamakan dengan Buddha. Lebih tegas bahkan diingatkan bahwa ada kebenaran Siwa-Buddha yang halus dan penuh kasih. Karena kakawin ini bersifat Bauddha, maka banyak uraian diberikan mengenai agama ini. Meskipun demikian banyak pula keterangan latar yang mengacu kepada tradisi keagamaan Hindu, seperti yang menyangkut gambaran mengenai kahyangan dengan dewa-dewanya yang dipimpin oleh Indra (antara lain pupuh II bait 1). Betara Guru (Siwa) digambarkan pula mengadakan tapa di gunung Meru atau Sumeru (XII.3 XVI.3). Kosmos pun dikatakan sebagai terdiri dari bhur bhuwah swah seperti dalam kosmologi Hindu (1.1). namun, sebagai suatu karya Buddha maka yang fnkemukakan disini adalah atualitas agama Buddha. demikianlah antara lain dikatakan bahwa:

nguni dwapara ring kretayuga sirang
sanuwa-dharmmangggkara tan
len hyang Brahma Wisnuwiswara sira
matemah bhupati marttyaloka mangkepraptang
kali Sri Jinapati manurun matyana ng kalamurkka
(Sutasoma. 1.4b-d dalam Santoso, 1975:139).

Artinya:
Dahulu kala di zaman-zaman besar ketiga, kedua dan pertama ia yang menjadi perbadanan dari segala dharma (ajaran kebenaran) tak lain adalah hyang Brahma, Wisnu (dan) Iswara, mereka menjadi raja di dunia yang fana (tetapi) sekarang, dizaman besar Kali (keempat, akhir), maka yang mulia Jinapati (lah) turun untuk membunuh kejahatan dan kekejian.

Pertama dan persatuan agama Siwa dan Buddha ini telah dimulai dengan tegas sejak zaman Singhasari, yaitu seperti ditunjukkan oleh data sejarah yang mengungkapkan bahwa rajanya yang terakhir, Kertanegara, setelah meninggal dibuatkan area peringatan dalam wujud sebagai Siwa maupun Buddha. Namun pelaksanakan dalam tindakan nyata membangun candi yang Saiwa di satu tempat dan yang Buddha di tempat lain untuk memperingati tokoh yang sama itu mungkin sekali baru terjadi di zaman bertemunya agama Saiwa dan Buddha secara nyata ini memang mungkin pula sudah diawali di zaman Singhasari. Kemungkinan yang ada adalah bahwa penyelesaian candi ini terjadi di zaman Majapahit.

Candi Jago yang terletak di Desa Tumpang di daerah Malang itu merupakan bukti nyata penyatuan ke Siwa-an dan ke-Buddha-an: area-area utama di candi tersebut bersifat banddhu (dengan demikian agama inilah yang berkedudukan utama di candi tersebut), sedangkan rangkaian relief yang menghiasi dinding-dindingnya bersifat Saiwa maupun Bauddha.

J. Gonda (1970:27,30,dst) dan H. Soebadio (1971:55-57) menyebut pertemuan keagamaan Saiwa dan Baudha di zaman Majapahit itu sebagai suatu "koalisi, Yaitu bahwa ientifikasi Siwa dan Baudha hanyalah mengenai prinsip tertinggi, atau kebenaran tertinggi, beserta segala manifestasinya, tetapi dalam pelaksanaan peribadatan kedua agama tetap terpisah. Dengan demikian mereka tidak menyetujui istilah "sinkretisme" yang menunjukkan solah-olah kedua agama itu lebur jadi satu. Lebih jauh hanya terjadi antara agama Siwa dan Baudha, melainkan juga dengan aliran Samkya, dan Kanabhaksa (periksa juga rangkuman mengenai masalah Siwa-Buddha dalam Sedyawati 1982).

Perumusan-perumusan yang dihasilkan di zaman Majapahit itu, baik dalam bentuk sastra maupun arstitektur, pada dasarnya merupakan pernyataan daya kreatif untuk mengatasi masalah keanekaan agama. Masalah keanekaan tersebut perlu dikelola dalam rangka upaya bina negara di zaman Majapahit.

Oleh: Edy Sedyawati
Source: Warta Hindu Dharma NO. 529 Januari 2011